Saturday, August 20, 2011

TAO OF SHRED 6: ORIGINAL FIRE part 3

Bagian Ketiga: To Be Or Not To Be


Kita sudah membahas tentang “keunikan” sepanjang 2 artikel. Dalam artikel yang terakhir, saya cuman pengen bilang: UNIK ITU GAK WAJIB. Paradoks memang. Tapi itulah yang saya rasakan. Dalam berkesenian unik itu bukan kewajiban. Yang wajib adalah pesan yang ingin kamu sampaikan dalam karyamu.

Pasti banyak yang bilang kalo saya ini gila. Mereka akan bilang: musik itu harus orisinil. Musik itu harus begini, musik itu harus begitu. Padahal musik itu cukuplah hanya menjadi musik. Tidak kurang, tidak lebih. Ketika musik itu kamu suka, maka dengarkanlah terus. Ketika kamu gak suka, ya jangan didengerin. Gampang banget. Gak ada hubungannya sama orisinil apa enggak.

Dalam musik klasik, kamu GAK BOLEH UNIK. Kamu harus memainkan lagu-lagu klasik sesuai dengan yang tertulis di partitur. Gak boleh ada interpretasi lain, selain yang diinginkan oleh komponis pencipta lagu itu. Kalo kamu mengganti satu aja nada di dalam lagu itu, maka kamu akan dituduh menghujat. Ini beneran loh.

Dalam sebuah orkestra klasik, kamu gak boleh unik. Ketika kamu main teknik vibrato, maka vibratomu harus sama dengan seluruh anggota orkestra. Itu cuma contoh kecil aja. Tapi liat apa yang terjadi, musik klasik dianggap sebagai musik 'terhormat', dan malah disebut sebagai 'tingkatan musik paling tinggi'. Saya sih gak pernah setuju dengan itu semua. Walaupun saya suka banget sama musik klasik, saya pikir terlalu mengada-ada kalo musik klasik terlalu dipuja-puja.

Kembali lagi ke masalah keunikan.

Ketika kamu membuat musik hanya berdasarkan keunikan, maka karyamu menjadi karya yang egois. Egois dalam berkesenian memang ada dan perlu. Istilahnya art for an art. Seni untuk seni. Tapi saya sendiri juga gak sepaham. Seni seharusnya untuk memuliakan manusia. Memanusiakan manusia. Berkontribusi demi kemanusiaan juga.

Saat seni hanya untuk seni, maka kebanyakan yang muncul adalah karya-karya egoistis yang tidak mudah dipahami, dan eksklusif. Sah-sah saja kalo ada satu dua karya seorang seniman yang seperti ini. Tapi kalo seniman itu membuat semua karyanya seperti ini, maka jadilah ia seniman yang egoistis.

Ada yang tau Pat Matheny.? Dia itu gitaris jazz. Karya-karyanya bagus banget. Tapi suatu saat dia ngeluarin album yang judulnya “Zero Tolerance” yang ehm,,,gila banget. Album itu isinya suara gitar yang ancur. Kayak orang nyetem gitar, tapi sepanjang album. Gak ada musiknya. Hanya suara noise seperti orang nyetem gitar.

Hal seperti ini boleh-boleh saja, asal dilakukan sekali-sekali. Tapi kalo ada seniman yang terus melakukan karya seperti ini, maka orang-orang akan bilang “What are you trying to say?”. “Pesan apa yang ingin kamu sampaikan?”.

Seniman seperti ini akan ditinggalkan audiensnya. Dan kehilangan apresiasi. Padahal hal paling penting yang dibutuhkan seniman adalah apresiasi atas karya-karyanya.

Saya sering menemukan kasus seperti ini di komunitas film indie. Atas dasar idealisme, dan semangat berkesenian yang tinggi, mereka sering banget bikin film yang gak bisa dimengerti. Saya pernah lihat saat pemutaran film indie, ada sebuah film yang hanya menampilkan asap sepanjang filmnya. Bayangin, selama setengah jam, film itu isinya asap semua. Adalagi film yang menggambarkan orang melamun. Lama banget ngelamunnya. Setelah itu di akhir film, dia membuka sebuah nasi bangkus lalu makan.

Saya sebagai penonton, merasa tertipu dan dibodohi. Film nyeni, dan idealis gak harus kayak gitu. Film nyeni gak harus aneh. Dan film aneh belum tentu nyeni.

Wah, saya emang udah ngelantur jauh ke masalah film. Tapi itu emang contoh paling gampang yang bisa dipakai. Saat penontong datang ke tempat pertunjukan, membeli tiket, dan menghabiskan waktunya untuk menonton acara seni, maka penonton dan seniman mempunyai “kontrak tidak tertulis”. Isinya bahwa sang seniman akan menampilkan karya terbaik yang bermanfaat sebagai hiburan, penggugah, penyemangat, inspirasi, dan lain-lain. Sebagai gantinya penonton mengeluarkan uang dan waktunya.

Tapi apa jadinya jika penonton sudah membeli tiket, atau membeli album musik, atau buku, tetapi kemudian karya seni yang ia dapatkan malah membuatnya bingung, dan kesal karena merasa telah tertipu dan dibodohi. Dan itulah yang saya rasakan ketika saya menonton film indie yang berasap, dan orang melamun tadi.

Tidak ada yang saya dapatkan. Tidak ada pembelajaran. Tidak ada inspirasi. Yang ada hanya keegoisan dan idealisme senimannya. Semua itu memang boleh dan sah-sah saja. Tetapi jangan salahkan saya kalo kemudian membenci dan memberi apresiasi yang buruk terhadap karya demikian. Semua sah-saha saja bukan.

Begitu pula dengan musik. Musisi boleh idealis, boleh unik, boleh aneh dan boleh nyeleneh. Asalkan dia paham betul bahwa karyanya harus ia pertanggungjawabkan secara moral dan secara estetis. Kalo ada penyanyi dangdut yang nyanyi buka-bukaan dengan goyang erotis, maka sah-sah aja dia lakukan selama dia suka. Tapi kalo kemudian ada sebagian kelompok masyarakat yang melemparinya, dan memboikot dirinya, itu adalah hak audiens juga.

Memang, karya yang baik, bukanlah karya yang HARUS diterima semua kalangan. Tapi menurut saya, karya yang baik adalah karya yang memberikan sesuatu kepada audiensnya. Karya yang menggugah intelektualitas, menggugah hati, dan menggugah batin. Bukan hanya menggugah isi celana dalam  kita.

Pembahasan keunikan ini sudah terlalu jauh sampai ke ranah-ranah sensitif dalam dunia seni, tapi gak papa lah sekali-kali kita memang harus berpolemik.

Jadilah sesuatu yang unik, namun berkesan dan membekas. Unik bukan hanya demi kepentingan menjadi unik. Tetapi unik karena jujur. Namun yang lebih penting lagi, buatlah sesuatu yang berguna. Jika itu tidak unik, ya tidak apa-apa selama itu berguna bagi diri sendiri dan audiens.

Jangan memaksa menjadi unik dengan mengorbankan estetika, dan pertanggungjawaban karya. Karena sebuah karya, walaupun tidak unik, asalkan jujur dan mampu memberi suapan bagi batin dan jiwa, adalah tujuan utama dalam berkesenian.

Bach, Mozart, dan Beethoven membuat musik abadi. Karya-karya mereka  masih dimainkan dan dinikmati orang jauh ratusan tahun setelah mereka mati. Tapi saat mereka membuat lagu-lagu itu, mereka gak pengen jadi unik. Mereka membuat lagu-lagu itu bukan untuk menjadi unik. Mereka mungkin akan bilang “God gave us talents. We gave people music”. Tuhan memberi bakat kepada kami, dan kami memberikan musik kepada orang-orang. Kejujuran, itulah yang penting dalam berkarya. Sebuah kejujuran akan menghasilkan keunikan tersendiri.

Itulah karya. Ketika lahir dari kejujuran, lahir dari keterusterangan, lahir tanpa pretensi dan tendensi, maka karya itu akan jadi abadi. Karena pendengar bisa mendengar kejujuran dalam karya itu. Mendengar pesan-pesan indah.

Kesimpulannya selama 3 artikel bersambung ini?

Isi adalah kosong, dan kosong adalah isi. Begitu kata bikhsu Tong, yang ke barat mencari kitab suci.

1 comment: