Bab 2 Tan Hoat dan Cio San pergi ke Butong san
Tan Hoat menyelesaikan segala proses pemakaman dengan dibantu orang-orang desa. Cio San masih tetap menangis. Tetapi ia berusaha tabah. Sedikitnya Tan Hoat heran juga melihat kekuatan hati anak itu.
“Cio san,” kata Tan Hoat “ Kau sudah mendengar sendiri kata-kata ayah-ibumu bukan. Mulai sekarang aku adalah gihumu”
“Iya gihu....” kata Cio San
“Karena kau sudah tak ada keluarga lagi, maka ikutlah kau ke Butong. Kau akan kuangkat menjadi muridku” kata Tan Hoat perlahan
Cio San menjatuhkan diri dan berlutut. Ia mengangkat tangan ke dada, “Gihu...gihu adalah orang yang paling 'anak' hormati. Ayah dan ibu sudah sering bercerita tentang gihu”
Lanjutnya, “Bukannya 'anak' kurang ajar, tetapi 'anak' tidak menyukai ilmu silat. Ayah pun sering mengajarkan bahwa perkelahian itu tidak baik, gihu ampuni 'anak'...”
Tan Hoat hanya memandangnya, kagum. Ia tidak menyangka anak sekecil ini sudah begitu paham tata cara dan sopan santun.
Cio San lalu melanjutkan lagi, “Apakah boleh anak belajar ilmu sastra saja. Anak mendengar bahwa guru besar Thio Sam Hong adalah tokoh yang dalam sekali ilmu agama, ilmu surat, dan ilmu-ilmu lainnya selain ilmu silat. Sekali lagi maaf gihu” sambil berkata begitu ia bersujud
“Sudahlah anakku, tidak ada yang akan memaksamu untuk belajar silat kalau kau tidak mau. Sudah.sudah bangunlah kau...bangunlah kau....”
Mereka kemudian tinggal disitu selama beberapa hari sebagai tanda berkabung. Lalu berangkat menuju Butong san. Para penduduk melepas mereka dengan hati haru dan sedih. Entah apa lagi nanti yang akan dialami oleh anak sekecil itu.
Banyak penduduk yang memberikan bekal, dan sangu makanan. Juga baju-baju untuk mereka pakai. Tan Hoat dan Cio San menerimanya dengan hormat. Setelah mengucapkan salam perpisahan, akhirnya kedua orang itu berangkat. Tan Hoat masih terkagum-kagum dengan sopan santun Cio San. Tidak percuma ia menjadi anak dari Cio-siucay [sastrawan Cio] dan Li-liehap [pendekar wanita Li].
Perjalanan ke Butong san memakan waktu sekitar 7 hari. Tan Hoat memilih menggunakan kuda supaya lebih cepat, dan juga mengingat ia sedang membawa anak kecil berusia 7 tahun. Untunglah sepanjang perjalanan Cio San tidak rewel. Hanya sekali-kali ia meneteskan airmata jika teringat nasib ayah-ibunya dan keluarganya. Tapi jika menangis, Cio San melakukannya secara sembunyi-sembunyi. Ia tidak ingin gihunya menganggapnya cengeng. Lebih-lebih ia tidak ingin menyusahkan hati gihunya.
Tan Hoat bukan tidak tahu perbuatan Cio San ini. Diam-diam ia kagum, dan manganggap anak kecil ini sungguh keras hatinya. Tapi lama-lama ia berkata juga,
“Cio San, kehilangan keluarga itu adalah hal yang menyedihkan, maka tidak apa jika engkau menangis. Menangis bahkan membuat perasaan lebih lega, dan terasa lebih lapang” kata Tan Hoat.
“Iya gihu. 'anak' hanya mencoba menguatkan hati. Biar nanti tidak menyusahkan gihu” jawab Cio San.
“Menyusahkan aku?, mengapa aku harus susah melihatmu menangis” tanya Tan Hoat sambil tersenyum.
“Gihu baru kehilangan seorang guru besar, gihu juga baru kehalangan keluarga angkat gihu. Keluargaku bukankah juga keluarga gihu? Sudah begitu, gihu masih ketambahan lagi mengurusi seorang anak cengeng” kata Cio San
“Hahahahahaahah, anak pintar...” Tan Hoat terbahak-bahak, lanjutnya “Aku malah sama sekali tidak repot mengurusi engkau. Sekarang bukankah aku harusnya bahagia memiliki anak yang pintar?”
“Anak belum lagi melakukan apa-apa untuk gihu, sudah dibilang pintar.”
“Ah kau ini memang pintar. Persis ayahmu...Cio Kim..Cio Kim, umurmu pendek, tapi semoga kau bangga jika anakmu bisa menjadi orang besar nanti” Tan Hoe berkata seperti itu sambil berbisik. Kepalanya menengadah ke langit
“Anak jadi teringat thia [ayah].” Cio San menunduk
“Oh..maafkan gihumu ini anakku, aku..aku tak sengaja” Tan Hoat terbata-bata
“Tak apa gihu” Cio San tersenyum, “Anak cuma teringat kata-kata thia setelah mendengar ucapan gihu tadi...” lanjut Cio San
“Ucapanku yang mana?” tanya Tan Hoat heran
“Tentang anak menjadi orang besar kelak” jawab Cio San
“Apa kata-kata thia mu itu?” tanya Tan Hoat lagi
“Thia berkata, menjadi orang besar tidak lah harus melakukan perbuatan-perbuatan besar. Karena sejarah tidak ditentukan oleh orang-orang besar, para kaisar, para raja, para jendral perang, atau pendekar-pendekar ternama. Sejarah dilakukan oleh kita, orang-orang kecil, rakyat jelata yang namanya tidak tertulis dalam kitab-kitab.” terang Cio San
“...dalam sekali maknanya” Tan Hoat berkata sambil menerawang
“Anak sendiri tidak begitu mengerti artinya, tapi....”
“Tapi apa...” Tan Hoat penasaran
“Rasa-rasanya anak sudah menangkap sedikit....”
“Coba jelaskan...” kata Tan Hoat
“Waktu anak ditolong oleh orang desa. Mereka itu orang-orang biasa, tidak punya ilmu silat. Mereka dengan sukarela menolong. Membersihkan anak, memberi pakaian, memberi makan. Coba kalo mereka tidak ada, pasti gihu dan anak ya kelaparan, mengurusi pemakaman ayah-ibu sendirian saja”
“Hahahaha...pintar-pintar..., lanjutkan-lanjutkan” Tan Hoat tertawa senang
“Kalau nanti seumpama anak jadi orang besar, maka sebenarnya orang-orang desa itu punya andil paling besar. Karena jika mereka tidak ada, kan anak tidak mungkin bisa selamat dari lapar, dan haus, dan lainnya” lanjut Cio San
“Bukan main!” saking senangnya Tan Hoat menepuk pundak Cio San keras sekali, sampai ia terbatuk-batuk
“Maaf...maaf..ahhahaha..aku terlalu senang mendapatkan anak secerdas kamu Cio San”
Cio San pun tersenyum, senyumnya yang pertama sejak keluarganya dibantai
Tan Hoat memilih untuk secepatnya sampai ke Butong sehingga ia tidak terlalu lama beristirahat. Istirahat hanya dilakukan jika mereka benar-benar lelah, atau kudanya yang butuh istirahat. Suatu saat ketika mereka sedang beristirahat di sebuah penginapan, Tan Hoat terkaget-kaget mendengar cerita dari Cio San
Ternyata Gobi-pangcu sudah meninggal. Kedudukannya digantikan oleh pangcu yang baru. Sebelum meninggal ia telah menunjuk pangcu yang baru bernama Bu Goat -nikow, tetapi penunjukkan itu ditentang oleh banyak pihak dalam perguran Gobipay. Bahkan pertentangan itu berubah menjadi perkelahian untuk memperebutkan posisi pangcu.
Dalam Gobipay sendiri memang sudah terjadi pergesekan antar murid sejak lama. Ini dimulai sejak jaman pengusiran bangsa Goan dulu, beberapa puluh tahun yang lalu.
Dulu, pangcu yang sekarang telah meninggal itu menemukan kitab rangkuman ilmu-ilmu tinggi sakti dan rahasia. Ilmu-ilmu sangat tinggi, dan bahkan melegenda dalam dunia persilatan. Pangcu itu kemudian memutuskan untuk mengajarkanilmu-ilmu dalam perguran Gobipay.
Pertentangan timbul karena ternyata ilmu-ilmu tidak hanya berasal dari ilmu kaum lurus, tapi juga ada ilmu-ilmu kaum sesat. Pihak yang menentang merasa bahwa, perguran Gobipay harus terus mempertahankan ilmu asli mereka yang berasal dari leluhur pendiri Gobipay. Sedangkan pihak yang setuju merasa bahwa ilmu adalah ilmu, tergantung siapa yang menggunakannya, dan digunakan untuk apa.
“Lalu nikow Bu Goat itu berasal dari golongan mana?” tanya Tan Hoat
“Dari golongan yang setuju untuk mempelajari seluruh ilmu termasuk diluar Gobipay. Karena beliau sendiri memang ditunjuk langsung oleh ketua Gobi-pay sebelumnya.” jawab Cio San
“Memang dari yang teecu dengar, pertentangan ini sudah berlangsung sejak gobi-pangcu terdahulu. Cuma karena ilmu beliau begitu sakti, tidak ada yang berani melawan. Baru saat beliau meninggal dan menunjuk penggantinya, baru para penentang itu berani melawan.
“Ah..kacau juga ini....., eh lalu kau tau cerita ini dari siapa” tanya Tan Hoat lagi
“Ayah dan ibu sering mengobrol” jawab Cio San
“Lalu kau mencuri dengar bukan?” tanya Tan Hoat sambil tersenyum
Ciuo san hanya tersenyum. Tan Hoat menjewer telinganya sambil tersenyum, “Anak nakal, lain kali kau tidak boleh begitu. Laki-laki sejati. Tidak mencuri. Tidak mencuri barang orang. Tidak mencuri istri orang, tidak juga mencuri dengar pembicaraan orang”
“Anak mendengar gihu....”
“Sana tidur lah kau, besok pagi-pagi kita harus berangkat” tukas Tan Hoat
“Baik gihu, selamat tidur gihu”
Tan Hoat mematikan penerangan kamarnya.
Besoknya, pagi-pagi sekali mereka sudah siap berangkat. Perbakalan pun sudah disiapkan oleh pelayan. Tan Hoat memang memesan kepada pelayan penginapan untuk menyiapkan bekal dan membangunkannya pagi-pagi sekali. Malah Tan Hoat yang bangun duluan sebelum si pelayan.
Si pelayan kemudian tergopoh-gopoh membawakan bekal yang dipesan Tan Hoat, sambil meminta maaf karena dia sendiri terlambat bangun.
“Tidak apa-apa, tapi lain kali jangan begitu, nanti kamu dimarahi tamu mu” kata Tan Hoat
Setelah sarapan pagi, mereka berangkat. Naik satu kuda. Cio San duduk dibagian depan. Kadang-kadang dalam perjalanan Tan Hoat membiarkannya memegang tali kendali kuda. Sekedar mengajarinya cara mengendarai kuda.
“Dulu thia-thia suka sekali berkuda. Dia punya kuda yang bagus, tapi katanya sudah dijual. Sayang anak tidak sempat belajar berkuda pada thia-thia” kata Cio San
“Ayahmu sempat mengajarkan apa saja padamu?” tanya Tan Hoat
“Banyak. Yang paling sering ayah mengajarkan huruf-huruf. Anak sudah mengenal banyak sekali huruf. Ayah juga sering menyuruh anak membaca kitab-kitab kuno.” Selesai berkata begitu ia melafalkan banyak sekali ujar-ujaran. Yang ternyata itu merupakan isi kitab-kitab karya nabi konghu chu.
“Wah hafalanmu malah sepertinya lebih banyak dari gihu. Hahahahha” Tan Hoat berkata sambil tertawa.
“Ibu kadang-kadang mengajarkan silat. Tapi anak tidak begitu tertarik” tukas Cio San
“Kenapa tidak tertarik?”
“Anak tidak suka memukul orang” jawan Cio San
“Lalu, kalau kau dipukul orang apa kau tidak membalas?” Tan Hoat bertanya
“Kalau anak berbuat baik, mana mungkin dipukul orang?” jawab Cio San santai.
“Ah kau..” Tan Hoat tidak bisa berkata-kata. Dia cuma bisa melanjutkan, “Kau ini masih kecil. Masih polos. Belum tau dunia seperti apa. Nanti kalau kau sudah besar, baru kau tahu bahwa ilmu silat itu penting sekali”
“Hmmm..” Cio San cuma menngangguk-angguk
“Lalu, apa saja yang sudah diajarkan ibumu?” tanya Tan Hoat
“Cara berdiri, cara menangkis, cara memukul....lalu...” Cio san terdiam sebentar, ia lalu melanjutkan “Banyak sekali gihu, hanyak anak yang bodoh karena tidak begitu memperhatikan”
“Ah..aku jadi tertarik, coba kita istirahat sebentar dibawah pohon itu. Lalu kau tunjukkan pada gihu, apa saja yang sudah diajarkan ibumu” tegas Tan Hoat
“Baik gihu” tukas Cio San
Setelah mengikat kuda dan meluruskan kaki sejenak, sambil duduk bersandar dibawah pohon, Tan Hoat memerintahkan Cio San untuk menunjukkan gerakan-gerakan yang pernah dipelajarinya.
Cio San melakukannya dengan baik. Mulai dari kuda-kuda, yang diebutnya sebagai 'cara berdiri', beberapa cara menangkis, dan jurus memukul. Semuanya merupakan ilmu silat Gobipay.
“Wah bagus, tapi kamu melakukannya tidak sungguh-sungguh. Seharusnya begini” Tan Hoat lalu bersilat. Kesemuanya gerakan yang tadi ditunjukkan Cio San, tapi lebih tegas, lebih kuat, dan lebih cepat.
“Kenapa kau diam saja?” tanya Tan Hoat
“Anak.....anak cepat sekali capai jika disuruh bersilat..” jawab Cio San
“Ah jangan berkilah, ayo cepat lakukan seperti yang kutunjukkan tadi” tegas Tan Hoat
Cio san pun melakukan seperti yang diperintahkan. Namun tak beberapa lama, dia sudah mulai ngos-ngosan, dan pucat. Tan Hoat segera melihat hal ini dan menyuruhnya berhenti.
“Ah ternyata betul kau lemah” sambil berkata begitu ia memegang urat nadi di pergelangan tangan anak itu
“Hah?” Tan Hoat heran, “Organ dalam mu banyak yang lemah. Apakah kamu pernah dipukul orang?
“Tidak. Tapi kata ibu, anak lahir sebelum sembilan bulan., sejak kecil anak sudah sakit-sakitan” jawab Cio San
“Ah kasihan sekali kau” tak terasa Tan Hoat meneteskan airmata. Ia memeluk anak kecil itu. “Sejak lahir kau sudah menderita. Sepanjang umurmu ini sudah sakit-sakitan. Malah kau sekarang yatim piatu....”
Sejak saat itu, rasa sayang Tan Hoat terhadap Cio San lebih bertambah lagi. Ia bertekad sepenuh jiwa untuk melindungi anak itu. Melakukan apapun demi kebahagiaan Cio San. Anak dari saudara angkatnya. Anak yang sekarang yatim piatu, anak yang sakit-sakitan, anak yang sungguh patut dikasihani.
Beberapa hari kemudian, mereka sudah sampai ke Butongsan. Tan Hoat langsung menuju ke makam Thio Sam Hong. Disana ia berlutu dan bersujud lama sekali. Disana ia menumpahkan airmata. Saudara-saudara seperguruannya pun membiarkan saja. Sepertinya memang hal itu sudah sering terjadi saat anak murid butongpay yang baru mendengar kabar kematian itu setelah 3 bulan itu tiba di kuburan itu.
Setelah puas menumpahkan kesedihan dan penghormatannya. Tan Hoat baru membersihkan diri dan beristirahan sejenak. Lau pangcu berada di biliknya, dan tidak keluar dari pagi sampai sore. Berhubung saat itu masih pagi, Tan Hoat menggunakan waktunya itu untuk menemui murid-murid yang lain. Bercengkerama dan bertukar cerita. Sekaligus memperkenalkan Cio San sebagai muridnya, dan juga menceritakan asal-usulnya.
Semua orang kagum mendengar bahwa anak itu adalah cucu dari Cio Hong Lim. Panglima terkenal yang taktik perangnya banyak berhasil mengusir pasukan penjajah Goan. Cio San sendiri bersikap santun dan merendah. Pada dasarnya dia memang anak yang tidak suka tampil menonjol. Pembawaan yang sebenarnya diturunkan dari kakeknya itu.
Ayahnya, Cio-siucay, atau sastrawan Cio. juga mewarisi sifat merendah itu. Jika kakeknya lebih suka mengucilkan diri dan menjadi petani di desa, ayah Cio San ini malah lebih suka mempelajari kitab-kitab kuno, musik, dan sastra. Ia tidak mau menjadi menjadi pegawai di ibukota. Padahal dengan gelarnya, ia bisa saja memiliki jabatan yang tinggi, bahkan bekerja di istana kaisar, mengingat jasa-jasa Cio Hong Lim. Tapi Cio-siucay malah lebih suka mendekatkan diri dengan keluarga.
Akhirnya sifat merendah dan tidak suka menonjolkan diri itu pun mengalir jugalah kedalam jiwa Cio San. Ia paling tidak suka dipuji. Paling tidak suka menjilat-jilat. Tapi tutur katanya sopan, polos, dan jujur. Itulah kenapa murid-murid Butong yang lain langsung suka padanya. Padahal mereka baru beberapa saat kenal dengan dia.
Hari itu ternyata ada 3 murid butong yang pulang ke Butongsan. Selain Tan Hoat, ada juga Wan Siau Ji, dan Kwee Leng. Keduanya turut membawa murid pula. Dan yang mereka lakukan persis sama dengan yang dilakukan Tan Hoat ketika pertama kali sampai ke Butongsan. Yaitu bersujud di makam Thio Sam Hong. Lalu kemudian bercengkerama dan bertukar cerita. Setelah agak siang murid-murid angkatan 3 yang baru pulang itu kemudian istirahat. Sambil menanti sore untuk bertemu dengan Lau-ciangbunjin. Ketua mereka yang baru.
Sore pun tiba, Lau Tian Liong keluar dari biliknya. Usianya sudah 70 tahunan, tapi raut mukanya terhiat lebih muda. Benar juga kata orang yang bilang bahwa ilmu-ilmu Butomgpay bisa membuat orang jadi awet muda.
Ciangbunjin partai Butong ini malah berkeliling melihat keadaan perguruan. Dari murid-muridnya ia mendengar bahwa 3 orang murid angkatan ketiga sudah pulang, dengan membawa murid masing-masing. Ia lalu berkunjung ke kamar-kamar murid itu. Hal ini menunjukkan kerendahan hati sang ciangbunjin. Padahal sebagai ciangbunjin [kapala partai besar], ia bisa saja memerintahkan para murid menghadapnya di biliknya sendiri.
Pintu kamar Tan Hoat diketuk orang. Padahal ia tidak mendengar langkah seorang pun yang mendekat. Seperti tersadar, ia lalu berlari cepat membuka pintu, setelah itu ia berlutut, dan berkata, “Teecu, Tan Hoat berlaku tidak sopan, tidak mengetahui kedatangan ciangbunjin. Apakah ciangbunjin sehat-sehat saja?”
“Ah jangan terlalu banya adat, berdirilah” sambil berkata begitu ia mengangkat Tan Hoat.
Begitu tangannya menempel ke tangan Tan Hoat, seperti ada getaran tenaga besar yang menghantam Tan Hoat. Ia sadar. Rupanya sang ciangbunjin sedang mengujinya. Tan Hoat tidak melawan desakan tenaga besar itu, ia malah menerimanya dengan ilmu Thay kek kun. Ilmu lembut ciptaan Thio Sam Hong. Desakan tenaga itu malah punah seperti hilang ditelan samudra yang luas.
Lau Tian Long tersenyum, ia berkata “Bagus, ilmumu meningkat. Tidak percuma kau mengaku angkatan ke 3”
“Atas petuah-petuah suhu, teecu berhasil sampai ke tingkat 6 thay kek kun”
“Bagus-bagus. Teruslah berlatih. Aku ini hanya berhasil mencapai tingkat 11. Aku sudah memutar otak mencari rahasia tingkat ke 12, tapi masih saja otak bebalku ini tidak bisa memecahkannya. Mudah-mudahan nanti kau yang bisa memecahkannya” kata Lau Pangcu pelan
Ketika Tan Hoat baru membuka mulut menjawab, Lau pangcu sudah memotog dengan pertanyaan 'Eh mana muridmu, aku belum melihatnya”
“Dia sedang berkenalan dengan murid-murid yang lain. Teecu menyuruhnya memperkenalkan diri ke bilik-bilik murid angkatan 7, dan 6.”
“Oh baiklah kalau begitu. Nanti malam aku akan kesini lagi untuk melihatnya”
“Teecu akan menyuruhnya ke bilik suhu saja” kata Tan Hoat cepat. Memang sudah menjadi kebiasaan di Butongpay untuk memanggil ketua mereka sebagai 'Suhu' atau guru, dan membahasakan diri sendiri sebagai Teecu atau murid.
“Tidak usah biar aku saja yang kesini lagi, nah kau istirahatlah, nanti malam kita bercerita ya” Lau Tian Liong pun pergi. Lebih tepatnya menghilang.
“Ilmu suhu semakin hebat saja” Tan Hoat hanya menggeleng-geleng. “Ah aku sampai lupa memberinya selamat atas pengangkatan menjadi ciangbunjin...”
Malamnya, Lau-pangcu memang benar-benar mengunjungi kamar Tan Hoat untuk berbincang-bincang. Cio San sudah menggunakan pakaian terbaiknya yang didapatkan dari pemberian orang-orang desa. Setelah memberi salam dan penghormatan, Ia memperkenalkan dirinya,
“Boanpwee [ini cara membahasakan diri yang sopan, jika berbicara dengan orang yang tingkatannya lebih tinggi] bernama Cio San, ayah teecu bernama Cio Kim, dan ibu boanpwee bernama Li Swat Ing” katanya
“She Cio, ada hubungan dengan jendral Cio Hong Lim?” tanya Lau-ciangbunjin
“Beliau adalah kong-kong (kakek) boanpwee” jawab Cio San
“Ah kau keturunan orang besar rupanya, bagus-bagus. Eh nafasmu kenapa berat, dan wajahmu pucat” sambil bicara begitu, Lau-ciangbunjin meraih tangan Cio San, dan mmeriksa nadinya.
“Boanpwee dalam kandungan ibu tidak lengkap 9 bulan. Jadi kata ibu, tubuh boanpwee lemah dan sering sakit-sakitan” kata Cio San perlahan
“Aih.., tak apa-tak apa...” Lau-pangcu seperti membatin
“Boanpwee sering terkena serangan sesak nafas, dan sering lemah. Harap pangcu maafkan. Jika nanti dikira boanpwee merepotkan butongpay, lebih baik boanpwee tidak...” ucapan Cio San itu dipotong Lau-pangcu
“Ah bicara apa kau ini. Butongpay punya ilmu hebat-hebat. Nanti pasti bisa menolong kesehatanmu jika kau rajin berlatih”
“terima kasih ciangbunjin” Cio San berkata dengan penuh hormat
“Hmmm, kau sudah memperoleh ijin dari kedua orang tuamu bukan? Untuk menjadi anak murid butongpay?” tanya Lau-pangcu
“Eh..orang tua boanpwee baru saja meninggal. Boanpwee lalu dititipkan kepada Tan-gihu (ayah angkat Tan)” Cio San menjawab perlahan
“Oh..” Lau-pangcu merasa pasti sudah terjadi sesuatu, lalu ia melanjutkan, “kau istirahlah Cio San, nanti mudah-mudahan beberapa hari lagi kalau murid-murid baru sudah terkumpul semua, kita adakan upacara penerimaan murid. Untuk sementara, kau nikmati dulu suasana butongsan ini, dan berkenalan dengan yang lain”
“Baik ciangbunjin, terima kasih” kata Cio San
“Tan Hoat, ikutlah ke bilikku, ada beberapa hal penting yang ingin kubicarakan”
Setelah sampai di bilik, Lau Tan Liong mulai bertanya,
“Apa yang sebenarnya terjadi dengan Cio San?”
“Keluarganya semua dibantai, kakeknya, ayah ibunya, seluruh keluarganya dibantai dalam waktu yang hampir berdekatan” jawab Tan Hoat
“Hmm...kau sudah tau siapa pelakunya?”
“Belum suhu..akan teecu selidiki nanti, teecu masih sungkan bertanya kepada Cio San. Khawatir dia jadi sedih” kata Tan Hoat
“Ya..ya selidikilah setuntas mungkin. Aku khawatir banyak orang yang dendam terhadap keluarganya. Untunglah kau menemukannya dan cepat membawanya kesini. Di Butongsan kita bisa menjaganya” kata Lau Tian Liong, ia melanjutkan, “Ada hal penting lain yang ingin kubicarakan denganmu”
“Teecu siap menerima perintah”
“Sebelum tay-suhu (guru besar) Thio Sam Hong meninggal, ia sebenarnya berhasil menciptakan sebuah ilmu yang jauh lebih dahsyat dari Thay kek kun.”
Tan Hoat hanya berdecak kagum dalam hati
Lau-pangcu berkata, “Aku sendiri sudah mencoba kedahsyatan ilmu itu. ah...kesaktian thay-suhu [guru besar] memang tak bisa diukur lagi...” ia berhenti sebentar “Sayangnya guru belum menurunkan ilmu itu kepada siapapun...”
“Ah.....” Tan Hoat tak bisa berkata apa-apa
“Tapi beliau sempat memberi aku petunjuk, yang sampai sekarang tidak bisa kupecahkan, beliau berkata, “Segala itu hampa. Memiliki ilmu sebenarnya tidak memiliki ilmu. Tidak memiliki ilmu sebenarnya yang paling sakti diantara semua”
“Bukankah itu ujar-ujaran kuno..suhu?” tanya Tan Hoat
“Benar...tapi apa hubungannya dengan ilmu silat ciptaan guru itu?. Eh tapi ada lagi sambungannya, beliau berkata: Segala yang bukan ilmu silat, adalah ilmu silat”
Tan Hoat diam karena berpikir keras tentang ujar-ujaran guru besarnya itu
“Eh apakah suhu sempat melihat bagaimana jurus-jurusnya?”
“Aku..aku, sebenarnya sempat mencoba ilmu itu. Aku memukul thay-suhu satu kali, hanya satu kali saja. Beliau tidak memasang kuda-kuda, tidak menangkis, juga tidak memukul...”
“lalu....” Tan Hoat bertanya penasaran
“Sebelum pukulanku sampai, beliau sudah menyentuh pundakku, saat itu sepertinya seluruh kekuatan hilang, beliau lalu berbisik: berlatihlah terus.....”
“Hah?”
“Iya, ilmu beliau itu seperti tanpa jurus dan kuda-kuda. Sepertinya beliau hanya berjalan saja menuju aku, menyambut pukulan itu seperti...seperti pukulanku hanya berupa uluran tangan....”
Tan Hoat hanya menggeleng-geleng, memang kesaktian Thay-suhunya itu sudah tidak bisa diukur lagi. Padahal Lau Tian Liong sudah memiliki ilmu kelas tinggi yang menempatkannya di puncak nama-nama dunia kang-ouw, bahkan setara dengan pemimpin Siaulimpay sekarang. Nama Lau-pangcu mungkin sekarang termasuk 3 besar orang yang paling tinggi ilmunya di dunia kang-ouw. Bisa dibayangkan betapa tingginya ilmu Thio Sam Hong yang mampu mengalahkan Lau-pangcu dalam satu pukulan saja!
“Pikir-pikirkanlah ucapan thay-suhu yang tadi kuceritakan padamu. Otakmu cerdas, dan pikiranmu tajam”
“Teecu sudah hafal dan akan teecu pikirkan terus suhu...” kata Tan Hoat
“Baiklah, jangan kau ceritakan ini kepada murid lain. Aku menceritakan ini hanya kepadamu saja” kata Lau-pangcu
“Eh..kenapa suhu?”
“Ah sungguh berat mengatakannya, aku tak tahu harus memulainya dari mana...”
Lalu Lau Tian Lioang melanjutkan, “Sebelum thay-suhu meninggal, beliau bercerita bahwa di dunia kang-ouw ini, ada sebuah kitab rahasia ilmu silat yang sampai sekarang belum ditemukan orang. Kitab itu adalah kitab tulisan Tat-mo. Kita tahu bahwa Tat-mo sendiri adalah pencipta ilmu silat. Seluruh jurus, dan aliran ilmu silat yang ada sekarang, bersumber dari kitab itu. Kitab itu tersembunyi di suatu tempat rahasia. Thay-suhu Thio Sam Hong memerintahkan aku menugaskan salah satu murid Butongpay untuk menyelidiki keberadaan kitab itu. Bukan karena thay-suhu ingin kita menguasai isi kitab itu, tetapi untuk menjaganya dari tangan-tangan sesat. Bisa kau bayangkan betapa hebohnya jika kitab itu nanti jadi rebutan semua aliran”
Lau Tian Liong melanjutkan,
“Semua pelajaran ilmu pernafasan, ilmu silat, dan ilmu-ilmu lainnya bersumber dari kitab itu. Dulu serautus tahun lebih, sempat ada kitab serupa yang jadi rebutan pendekar-pendekar kang-ouw. Tapi kitab rebutan itu hanya berupa ringkasan dari kitab tulisan Tat-mo itu. Bisa kau bayangkan, kitab ringkasan saja, sudah bisa menghasilkan ilmu-ilmu dahsyat yang tiada tanding, apalagi kitab aslinya”
“Thay suhu berkata, bahwa ilmu thay-suhu sendiri sebenarnya belumlah menyamai isi kitab Tat-mo itu. Tapi pemahaman beliau sebenarnya sudah bisa menjangkau isi kitab itu. Sayang sebelum beliau sempat memberi aku petunjuk-petunjuk, beliau sudah keburu meninggal. Hanya ujara-ujaran yang tadi aku sampaikan padamu itu yang sempat disampaikan guru kepadaku”
“Jadi sekarang, aku harus merepotkanmu untuk menyelidiki keberadaan kitab ini. Lakukan secara rahasia, jangan sampai menimbulkan kehebohan di dunia kang-ouw. Menurut thay-suhu, keberadaan kitab itu mungkin hanya diketahui tidak lebih dari 3 orang.”
“Teecu siap berangkat saat ini juga, jika itu perintah suhu” tegas Tan Hoat
“Jangan, beberapa hari lagi saja. Nanti bisa menimbulkan kecurigaan jika kau langsung berangkat, padahal baru saja sampai di Butongsan. Istirahatlah dulu. Pergunakan waktumu untuk memberi petunjuk-petunjuk dasar ilmu Butongpay pada muridmu. Walaupun ia belum resmi diangkat menjadi murid Butongpay, secara tidak langsung ia berhak belajar dasar ilmu Butongpay karena ia sudah menjadi anak angkatmu”
“Teecu siap laksanakan perintah”
“Nah, pergilah”
Setelah mengucap salam dan menghaturkan hormat, Tan Hoat meninggalkan kamar Lau Tian Liong. Hatinya tidak enak mendengar adanya kabar kitab Tat-mo itu. Dunia kang-ouw pasti akan heboh tidak lama lagi.
Sekitar 10 hari kemudian, seluruh murid angkatan ketiga sudah kembali, dan membawa muridnya masing-masing. Dua hari setelah itu diadakan upacara penerimaan murid. Upacara ini merupakan salah satu acara besar di Butongpay, oleh karena itu harus diikuti oleh seluruh murid Butongpay, kecuali yang mendapat tugas lain seperti berjaga, ronda, memasak, atau mengurus pekerjaan 'rumah tangga' seperti memasak, mengurusi air, bersih-bersih, atau mengurus ternak.
Balai yang digunakan untuk upacara ini adalah balai utama. Ukurannya besar, dan sanggup menampung seluruh murid Butongpay. Bahkan masih sanggup lagi menampung beberapa ratus orang lagi. Banyak sekali kejadian di ruangan ini sejak dahulu. Seperti kekacauan acara peringatan ulang tahun Thio Sam Hong ke 100. Saat itu Butongpay kedatangan banyak 'tamu' yang ingin memberi selamat, namun maksud sebenarnya untuk memperebutkan benda-benda perebutan dunia kang-ouw
Ada juga penyerbuan yang dilakukan seorang putri Goan beserta anak buahnya. Penyerbuan ini berhasil digagalkan murid kesayangan Thio Sam Hong dulu itu. Malah akhirnya, murid kesayangan itu jatuh hati dan menikah dengan sang putri Goan, lalu menghilang dan menyepi entah kemana.
Banyak lagi cerita-cerita mengharukan yang terjadi di balai utama ini. Maka memang ada suasana haru yang timbul di hati para murid jika memasuki ruangan ini. Apalagi bayangan thay-suhu mereka masih membekas di ingatan mereka kala memimpin upacara-upacara. Ada suasana syahdu, dan sendu yang mengiringi suasana sakral jika memasuki ruangan ini.
Murid-murid sudah berbaris rapi. Para tianglo (penasehat) dari sang ciangbunjin sudah hadir, dan berada di posisi samping dari mimbar pangcu. Tapi pangcu sendiri belum datang.
Beberapa murid membaca ujar-ujaran dari kitab kuno, dan juga ujar-ujaran Thio Sam Hong.
“Ciangbunjin memasuki balai utama” terdengar teriakan dari sudut ruangan
Semua orang lalu berlutut. Ini adalah ciangbunjin pertama sejak kepergian Thio Sam Hong. Wibawanya tidak seperti Thio Sam Hong. Wibawa siapapun TIDAK AKAN mungkin seperti Thio Sam Hong. Tapi Lau-pangcu memiliki wibawa sebagai seorang ciangbunjin. Itu saja sudah cukup.
“Murid-murid Butongpay, kini kita berkumpul untuk melakukan upacara penerimaan murid baru. Murid baru ini adalah murid-murid pilihan, yang cara pencariannya agak sedikit berbeda, dari cara-cara dahulu.
“Seperti kita semua tahu, Butong harus menambah banyak murid berbakat. Kepergian Thay-Suhu membuat kita harus rajin berbenah. Tidak ada satupun murid yang bisa lulus ujian naik ke tingkat 4. Sehingga kami, memutuskan untuk mencari banyak murid berbakat, melalui cara yang sedikit berbeda, agar Butong tidak kekurangan murid-murid hebat nantinya.”
“Bagi kalian yang sudah menjadi murid Butong. Berlatihlah lebih giat untuk bisa mengharumkan nama perguruan Butong. Yang terpenting, kalian harus bisa mengharumkan nama bangsa ini ke semua penjuru bumi”
“Saat ini, Butong kedatangan 15 murid baru. Mereka telah melewati syarat-syarat yang ditetapkan. Mereka berasal dari keluarga dan keturunan yang jelas. Memiliki bakat, dan tubuh, dan tulang yang cocok untuk belajar ilmu silat. Kecuali Cio San, yang memiliki masalah kesehatan. Ia diterima karena walaupun sering sakit, dan mempunyai tubuh yang lemah, ia memiliki susunan tulang yang bagus untuk belajar silat. Iya juga memiliki ketertarikan untuk belajar kitab-kitab kuno, dan kitab nabi-nabi. Kita sedang kekurangan murid-murid yang mempelajari ilmu surat, karena selama ini kita terlalu fokus mempelajari ilmu silat. Ini mungkin disebabkan pergolakan perang pengusiran penjajah dulu.”
“Sekarang kita harus menata lagi perguruan ini, karena kita sudah ditinggal oleh thay-suhu. Aku harap seluruh murid Butongpay, mendukung rencana-rencana ini, dan melakukan yang terbaik untuk mendukungnya”
“Murid siap menaati perintah” jawaban ratusan murid Butongpay menggema di dalam balai utama.
“Aku memanggil kelima belas calon murid butongpay...” Lau Tian Liong lalu menyebutkan nama-nama itu.
Kelima belas nama murid itu, termasuk Cio San lalu maju kedepan. Mereka semua memang sudah diajarkan tata cara upacara penerimaan murid ini sebelumnya.
“Ucapkanlah sumpah setia Butong ini, tirukan kata-kataku....” perintah sang ciangbunjin
Terdengar Lau Tian Liong mengucapkan sumpah yang ditirukan oleh kelima belas murid baru itu. Isi ucapan sumpah itu tidak begitu panjang. Intinya semua murid Butong menyatakan tunduk dan patuh kepada semua aturan yang ada di Butongpay.
No comments:
Post a Comment