Monday, August 22, 2011

CERITA SILAT: Bab 3

Bab 3: Kehidupan di Butong-san

Kelima belas murid pilihan itu ternyata memang tidak mengecewakan. Hanya dalam beberapa tahun saja, ilmu silat mereka mulai terlihat istimewa. Ini mungkin karena bakat mereka memang besar. Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa hampir seluruh kelima belas murid itu sebelumnya memang sudah digembleng ilmu silat sebelum masuk ke Butongpay. Mereka sebagian besar berasal dari keturunan ahli silat, atau keluarga terpandang.

Hal ini berbeda dengan Cio San, yang sama sekali berbeda latar belakangnya. Walaupun ia adalah anak dari seorang ahli silat Gobi-pay, ia tidak diajarkan silat secara mendalam oleh ibunya. Karena tubuhnya memang lemah sejak lahir. Memang ibunya pernah sedikit menunjukkan gerakan silat Gobipay padanya. Tapi karena kondisi tubuhnya yang lemah, latihan silat itu tidak diteruskan. Jadi, bisa dibilang Cio San itu memang tidak bisa ilmu silat. Walaupun ia paham sedikit-sedikit gerakan silat. Ayahnya pun juga bukan seorang ahli silat. Malah ayahnya adalah seorang sastrawan, yang mana golongan sastrawan seperti ini memang dikenal lemah lembut tingkah lakunya. Tidak menyukai kekerasan seperti adanya orang kang ouw [dunia persilatan].

Namun walaupun tidak begitu berbakat dalam ilmu silat, Cio San sangat berbakat dalam ilmu surat (sastra). Pengetahuannya tentang huruf-huruf kuno sangat banyak. Ini mungkin karena sejak kecil ia memang sudah diajarkan ayahnya. Karena pengetahuan dan bakat ini jugalah yang membuat ia kemudian diterima ke dalam rencana pencarian bakat Butongpay. Ditambah kenyataan bahwa dulu kakeknya adalah orang yang sangat dekat dengan Butongpay.

Setiap anggota 15 murid pilihan ini, mempunyai guru pengawasnya sendiri-sendiri. Guru pengawas adalah orang yang bertanggung jawab langsung atas masing-masing anggota 15 “naga muda” ini. Guru pengawas ini adalah orang yang dulu membawa murid ke Butong pay. Seperti Tan Hoat yang menjadi guru pengawas bagi Cio San.

Guru pengawas berkewajiban untuk mendidik langsung, mengajari, dan memperhatikan kemajuan murid yang dibawahinya. Jadi ada 15 guru pengawas, yang satu persatu bertugas untuk mengawasi dan mendidik masing-masing 15 murid tersebut.

Selain guru pengawas, ada juga guru umum, yang hanya bertugas melatih mereka. Namun tidak berkewajiban untuk bertanggung jawab sepenuhnya terhadap 15 naga muda, seperti kewajiban guru pengawas.

Sekarang, beberapa tahun telah lewat. Kelima belas murid pilihan Butongpay itu telah berusia belasan tahun. Yang paling tua diantara mereka berumur 15 tahun. Sedangkan yang paling muda adalah Cio San, saat ini ia terlah berumur 12 tahun.

Sebutan '15 Naga Muda Butongpay' adalah istilah yang dipakai untuk kelima belas murid istimewa ini.
Murid-murid pilihan ini walaupun mendapat perlakuan istimewa dari seluruh Butong, tidak serta merta membuat hidup mereka enak. Mereka harus berlatih lebih giat, dengan lama waktu latihan yang jauh lebih lama dari murid biasa. Latihan mereka pun lebih berat.

Mereka juga harus tunduk kepada murid yang lebih tinggi golongannya, dan yang lebih dahulu masuk sebelum mereka. Jadi walaupun istimewa, kelima belas murid pilihan ini malah menjalani kehidupan yang lebih berat dalam Butongpay.

Terutama Cio San. Tubuhnya yang paling lemah diantara kelima belas orang itu. Ilmu silatnya juga yang paling ketinggalan.Apalagi, sang guru pengawasnya, Tan Hoat, sering naik turun Butongpay karena tugas perguruan selama beberapa tahun ini, sehingga Cio San juga menjadi jauh tertinggal dengan 15 naga muda yang lain.

Posisinya sebagai salah satu dari kelima belas murid yang dianggap istimewa itu, malah menjadikannya sasaran empuk dari rasa iri murid-murid lain yang tidak termasuk dalam barisan 15 naga muda itu.

Seperti yang terjadi sekarang ini.

Cio san kebetulan lewat dihadapan sekumpulan murid yang sedang berlatih ilmu totok Butongpay.

“Nah Cio San, mumpung sekarang kamu ada. Kami sedang berlatih ilmu totok yang baru kemarin bisa kami kuasai dengan baik. Bagaimana kalau kita berlatih bersama?” tanya A Pao, salah seorang murid Butongpay yang bertubuh tinggi besar.

“Ah maaf kak, saya capai sekali, kebetulan ini baru selesai latihan pernafasan tingkat 5, lain kali saja ya?” sambil bicara begitu dia tersenyum,

“Heh? Anggota '15 Naga Muda' baru sampai pada pernafasan tingkatan 5? kami saja yang murid 'Biasa' sudah sampai di tingkat 7. Kalian itu belajar apa sih?” A Pao berkata sambil tertawa, yang juga ditimpali gelak tawa teman-temannya yang lain.

“Ah sebenarnya yang lain sudah sampai pada tingkat 11, cuma saya memang kurang bakat, jadinya yah harus mengulang-ngulang terus pelajarannya” jawab Cio San sambil mencubit-cubit kupingnya sendiri dan tertawa.

“Nah, karena kamu itu suka mengulang-ngulang latihan, bagaiman kalo sekalian kamu mengulang juga latihan ilmu totok bersama kami?” kata A Pao.

“Aduh kak, sungguh badan saya pegal-pegal semua. Saya takut malah tidak bisa latihan dengan baik” jawab Cio San

“Alah sudahlah ayo latian. Pasang kuda-kuda ya. Lihat jurus!” sambil berteriak, A Pao langsung melancarkan jurusnya tanpa menanti jawaban dari Cio San.

Gerakannya cepat. Tidak malu sebagai anak murid Butong. Ia mengincar sebuah titik di daerah dada kiri Cio San. Diserang seperti itu Cio San tidak kaget. Ia bersikap tenang dan menerima serangan itu dengan gerakan menyapu dengan tangan kiri. Gerakan menyapu ini adalah bagian dari gerakan dasar tay kek kun ciptaan mendiang Thio Sam Hong. Dilakukan dengan lembut dan mengalir.

Saat serangan pertamanya berhasil dipunahkan, A Pao menggunakan tangan kirinya untuk mengincar sebuat titik di pelipis kanan Cio San. Melihat serangan ini, Cio San hanya memutar lehernya mengikuti aliran serangan, sehingga serangan totokan itu hanya lewat didepan matanya.

Melihat dua serangannya gagal, A Pao semakin bersemangat untuk menyerang. Gerakannya semakin cepat, namun gerakan Cio San juga tak kalah cepat.

Setelah beberapa lama beradu silat, keringat mulai terliat di dahi Cio San. Ia memang gampang sekali capai. Sistem kerja organ dalam tubuhnya memang kurang baik sehingga membuatnya susah mengendalikan pernafasan, yang membuatnya mudah letih. Itulah juga sebabnya ia masih mengulang-ngulang pelajaran pernafasan tingkah 5.

Melihat lawannya sudah mulai kedodoran, A Pao melencarkan serangannya lebih cepat lagi. Bagi orang Butong, gerakan kedua orang ini biasa-biasa saja. Tapi bagi orang luar, apalagi bagi orang yang tidak mengerti ilmu silat, kedua orang murid Butong ini bergerak sangat cepat namun juga indah.

Menghadap gerakan cepat ini, Cio San mulai terdesak. Ia sudah tidak bisa menghindar seperti tadi lagi. Ia tidak mencoba menyerang karena sibuk terus mempartahankan diri. Karena kalah cepat, Cio San memilih langkah-langkah mundur sambil mengelak sebiasanya. A pao yang merasa dirinya diatas angin semakin mendesak Cio San yang terus merangsak mundur.

Sesekali tubuh Cio San terkena serangan totokan jari A Pao. Tapi karena memang mereka belum terlalu menguasai penyaluran tenaga ke jari-jari, hasil serangan ini hanya cukup menyakiti saja namun tidak sampai menimbulkan akibat yang fatal.

Cio San lalu berkata, “Kakak, saya mengaku kalah, serangan mu hebat sekali” sambil berkata begitu ia memberi hormat. A Pao yang masih penasaran karena belum bisa menjatuhkan anggota '15 Naga Muda' tidak menghentikan serangannya.

“Ah...” Cio San hanya mendesah. Sudah sering ia menerima perlakuan seperti ini. Banyak sekali anggota Butong 'Biasa' yang ingin menjajal dan mengalahkan anggota '15 Naga Muda'. Dan selalu yang menjadi sasaran adalah Cio San. Ini mungkin karena dia dianggap yang paling lemah dan paling ketinggalan ilmunya. Bagi murid 'Biasa'. Menjatuhkan salah seorang anggota '15 naga Muda' itu adalah sebuah kehormatan, maka dijajal lah anggotanya yang paling lemah.

Sudah amat sering Cio San mengaku kalah, namun mereka selalu ingin menjatuhkannya dulu. Bagi sebagian orang, memang jauh lebih menyenangkan memukul jatuh lawan, ketimbang mendengar dia minta menyerah saja.

Sering juga Cio San babak belur karena dihajar mereka. Apa daya? Dia memang paling lemah, dan merupakan sasaran empuk bagi mereka yang iri akan kedudukan '15 naga muda'. Tapi Cio San memang tidak pernah mengeluh. Perlakukan seperti itu malah semakin membuatnya rajin berlatih. Terkadang ia ditertawai orang karena dianggap tidak pantas menjadi bagian '15 naga muda'. Kadang ia malah terluka, karena serangan-serangan mereka selalu dilancarkan dengan niat melukai, bukan dengan niat berlatih.

Dalam '15 naga muda', ia sendiri juga mengalami hal yang tidak mengenakkan. Ia selalu dimarahi dan dikerasi oelh guru-gurunya karena kemajuan ilmunya yang lambat. Kadang-kadang gihu dan sekaligus guru pengawasnya, Tan Hoat bahkan kehilangan kesabaran dengan menghukumnya. Memang bukan hukuman berat, cuma sekedar membersihkan kamar mandi para murid, atau mengurusi ternak-ternak babi milik Butong. Cio San pun juga tidak mendendam terhadap gurunya itu, karena ia tahu gurunya bermaksud baik untuk memacunya lebih bersemangat latihan.

Kadang juga ia melihat pandangan 'menghina' dari sesama anggota '15 naga muda'. Para anggota ini menilai Cio San tidak pantas menjadi murid unggulan seperti mereka dan sering memperlakukannya dengan tidak baik. Seperti menertawainya, mengatakannya dengan berbagi perkataan yang menyinggung, bahkan juga mengerjainya saat latihan. Seperti mempelorotkan celananya saat ia latihan kuda-kuda, menyiraminya dengan kotoran babi dengan alasan 'tidak sengaja' dan lain-lain.

Dasar bermental baja, Cio San tidak pernah melaporkan perlakuan ini kepada guru-gurunya. Ia menganggap itu hanya candaan belaka. Sering ia tersenyum dalam menghadapi semua itu. Tapi kadang ia juga menangis sendirian saat sedang mandi, atau saat tidur. Ia malu memperlihatkan kelemahannya. Seorang laki-laki harus sanggup menghadapi cobaan apapun dalam hidupnya. Begitu kata ayahnya dahulu.

Kekuatan dan ketabahan hati Cio San ini, malah membuat orang semakin tidak suka padanya, dan semakin ingin mengerjainya, karena mereka tahu Cio San tidak akan mengadukannya kepada guru-guru mereka. Perlakukan mereka terhadap Cio San semakin tidak mengenakan. Ia bahkan lebih sering berlatih sendirian. Karena sepertinya kawan sesama 15 naga muda sudah tidak lagi menganggap dirinya.

Semua kejadian tidak mengenakkan ini lewat di dalam pikirannya dalam sekejap mata, saat ia menghadapi serangan A Pao. Tidak terasa matanya berkaca-kaca, air matanya meleleh. Konsentrasi terhadap pertarungan pun buyar seketika.

Seluruh serangan A Pao pun tepat mengenai sasarannya. Cio San terjatuh dan mengeluh kesakitan. Ulu hatinya terasa sakit sekali. Dalam sekali serangan, A Pao menyerang lima titik di tubuhnya, hasilnya ulu hatinya seperti ditendang 10 kuda.

Nafasnya tersengal-sengal. Tapi murid-murid lain malah menertawainya.

“Anggota 15 naga muda, menangis saat diserang, hahahahha” mereka berteriak sambil tertawa. Suara teriakan, hinaan, dan tawa itu terasa jauh lebih menyakitkan daripada rasa sakit di ulu hatinya. Ia hanya mengatup mata, air matanya mengalir.

Sesudah itu dia pingsan

Saat siuman, ia merasa perutnya sakit sekali. Ciuo San kini sedang berada di biliknya sendiri. Ia terbaring diatas tempat tidurnya. Ada bau ramuan obat. Mungkin juga bau ini yang membuatnya tersadar. Disamping tempat tidur Cio San, Tan Hoat, sang gihu duduk disebuah bangku kayu kecil.

Raut wajahnya kelam sekali. Biasanya gihunya ini tidak seperti ini wajahnya. Tan Hoat baru kembali dari tugas perguruan. Selama beberapa tahun ini, Tan Hoat memang sering sekali naik turun gunung untuk menunaikan tugas perguran. Melihat ada gihunya disampingnya, Cio San merasa senang sekali, namun kemudian gihunya bertanya dengan ketus,

“Kau sudah siuman?” kata gurunya

“Iya guru” jawab Cio San. Ada rasa tidak enak di ulu hatinya ketika ia berbicara

“Orang-orang bilang kau menangis karena menerima serangan A Pao?”

Cio San menutup matanya. Ia tidak menangis karena serangan A Pao. Ia menangis karena merasa tidak diperlakuakan dengan adil oleh saudara-saudara seperguruannya sendiri. Tapi bagaiman ia menceritakan ini kepada gurunya. Selama ini gurunya tidak pernah tahu akan perlakukan mereka terhadapnya. Jika kemudian ia bercerita, bukankah nanti ia akan dianggap mencari-cari alasan. Apalagi jika nanti kalau dia bercerita, dan semua orang itu menyangkal ceritanya, maka hasilnya akan lebih parah lagi. Ia akan semakin tersudut.

“Iya gihu” Cio San menjawab pelan.

Gihunya juga hanya berbicara dengan pelan, namun kata-katanya menusuk sekali

“Kau....kau membuatku malu. Kau membuat semua murid Butongpay malu. Seorang laki-laki lebih baik mati di dalam pertempuran, daripada menangis ketakutan dalam perkelahian”

“Maafkan teecu, guru....teecu...” Cio San juga sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi.

Gihunya berdiri lalu keluar dari bilik itu. Berjalan dengan gontai

Cio San hanya menghela nafas. Ia menangis lagi. Ia sudah mempermalukan gurunya.

Ia tidak pernah menangis karena rasa takut. Ia tidak menangis karena kesakitan. Tidak. Ia menangis karena kemarahan. Karena perlakukan tidak adil. Iya benar! Ia menangis karena melihat ketidakadilan. Ia lalu teringat ayahnya lagi yang dulu pernah berkata, “Laki-laki hanya pantas meneteskan airmata karena melihat penindasan.”

Cio San berfikir, apakah memang ia menangis karena alasan itu. Semakin lama ia berfikir. Akhirnya ia tersadar. Yang dimaksudkan ayahnya adalah 'penindasan' terhadap orang lain. Jika penindasan itu terjadi kepada dirinya, maka itu bukanlah penindasan. Tapi itu karena ia tidak mampu membela dirinya sendiri.

Kesadaran berfikir seperti ini, bagi anak berumur 12 tahun sebenarnya boleh juga dibilang ajaib. Biasanya anak-anak itu lebih suka mencari pembenaran dan membela diri. Tapi Cio San sudah mulai paham bahwa, jangan-jangan ia memang hanya mencari pembenaran.

Dalam hati ia menguatkan dirinya. Ia harus menerima resiko karena kelemahannya sendiri. Aapapun nanti hukumannya, harus ia terima dengan berani. Ia tidak boleh menangis lagi. Ia tidak boleh membuat gihunya kecewa dan marah lagi seperti tadi. Dan yang lebih penting, ia tidak boleh LEMAH lagi.

Akhirnya ia tersenyum. Senyum pahit yang selalu dilakukannya. Tapi senyum seperti itu terkadang memang bisa mengobati luka hatinya. Luka hati siapa saja.

No comments:

Post a Comment