Monday, August 29, 2011

MOP: Sayur Bambu dan Sayur Paku

Pace Martinus pergi ke Jawa. Dia terkagum-kagum dengan semua yang ada di Jawa. Suatu hari begini, dia masuk warung. Dia mau tes makanan di Jawa ini ka tidak. Tapi pas lihat makanan di warung, dia bingung. Soalnya tidak ada barang satu yang dia tau. Maklum tooo, di kampung makanan cuma ubi dan sagu bakar.
Karena bingung dia tanya ke ibu pemikil warung,
Martinus: Ibu ini sayur apa ka?
Ibu: Oh ini namanya sayur rebung
Martinus: Bah, sayur rebung itu apa itu?
Ibu: Oh ini dibuat dari BAMBU muda,,,,
Martinus: oooooo,,,kalo ini sayur apa ibu?
Ibu: kalo ini namanya sayur PAKU,,,,,,
Martinus: Bah ini sayur PAKU,,itu sayur BAMBU,,,nanti kalo saya makan,,trus saya berak,, yang keluar PAGAR,,,,,,,,

Sunday, August 28, 2011

TAO OF SHRED: Q & A

Saya banyak sekali dapat pertanyaan macam-macam. Kayak artis aja. Haha. Tapi saya pikir bagus juga kalo di share di sini. Sekedar tambahan wawasan. Jika teman-teman ada pertanyaan, silahkan lewat comment atau lewat FB ya,,,,





Q: Mas, gimana cara bisa sukses dalam dunia musik?

A: I don't know brother. Kalo aku tau jawabannya, aku udah sukses dari dulu-dulu. Hehe. Tapi kalo kamu tanya aku tentang kesuksesan, kita harus tanya dulu pada diri sendiri, “Sukses macam apa?”. Apakah menjadi terkenal? Jadi kaya raya? Orang memuja-muja namamu sebagai 'dewa' gitar? Atau apa?. Karena bagiku, sukses bukan itu semua. Bagiku sukses adalah ketika kamu mampu melakukan apa yang kamu suka, dan merdeka saat melakukannya. To me, playing a guitar is a success in itself. It's the greatest achievement. Saat aku mampu membuat lagu yang bikin aku menangis, atau tertawa, atau marah, maka bagiku itu adalah kesuksesan. Itu kebahagiaan tertinggi. Karena itu adalah something which gives me the greatest joy. Jadi aku gak perduli apa-apa. Saat aku main musik, saat aku menjadi satu dengan nada-nadanya, saat I become the song....itu adalah kesuksesan bagiku.

Q: Aku bingung dalam menentukan jalan hidup mas. Apa ngikuti kemauan jadi musisi, atau harus kerja kantoran. Karena jadi musisi itu gak ada jaminan hidup mapan. Kalau kamu gimana menentukannya mas?

A: Kalo kamu punya pilihan lain selain menjadi musisi, maka jangan jadi musisi. Karena menjadi musisi itu bukan pilihan hidup, melainkan jalan hidup. Aku sendiri gak pernah bingung memilih, karena sejak aku suka main musik, sejak itulah aku memutuskan musik adalah jalan hidup. Aku memang gak kaya, atau kemudian jadi mapan. Tapi setidaknya aku masih mampu memenuhi kebutuhan hidup, dan membeli barang yang pengen kubeli. Aku memang gak punya rumah atau mobil, tapi apa orang yang kerja kantoran juga langsung punya rumah atau mobil? Hidup adalah misteri, gak seorang pun yang tahu akan masa depan. Jadi daripada, aku melakukan hal yang tidak kusukai, hanya untuk merasa 'aman' secara finansial, lebih baik aku melakukan apa yang aku suka. Toh sampai sekarang aku masih hidup. Masih bisa makan. Masih bisa bayar tagihan-tagihan. Karena rejeki di tangan Alloh. Bukan di tangan pekerjaan, di tangan bos kantor, atau di tangan siapapun juga. Aku gak bilang hidupku nyaman dan enak, karena seumur hidupku aku terus berjuang menjadi “seseorang”. Seseorang yang dihargai bukan karena seberapa banyak uang yang mampu aku hasilkan setiap bulan. Melainkan seseorang yang dihargai karena mampu memberi sesuatu kepada dunia. Kalau ada satu orang saja yang 'tercerahkan' karena musik ku, atau ada orang yang memutuskan untuk tidak jadi bunuh diri karena dengerin lirik-lirikku, aku pikir itulah saat dimana aku benar-benar menjadi manusia.
Aku diberi bakat dan kemampuan oleh Tuhan, bukan untuk mencari uang, karena sungguh rejeki itu udah disediakan Tuhan jauh sebelum kita lahir. Kita diberi bakat dan kemampuan oleh Tuhan, adalah untuk menjadi manusia seutuhnya. Yang merdeka. Yang punya harga diri. Yang bisa bilang “iya” saat pengen bilang “Iya”, dan bisa bilang “tidak” saat pengen bilang “tidak”. Dan dengan pilihan hidupku yang sekarang. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dengan segala kesedihan dan kebahagiaannya, dengan segala tangisan dan gelak tawanya, aku bahagia sepenuhnya. Karena seseorang tidak serta merta menjadi bahagia saat dia menjadi mapan. Tangis dan kesedihan juga tidak serta merta hilang saat seseorang mapan. Karena hidup terus berputar. Tangis dan tawa selalu bergantian. Sering banget aku denger temenku yang berkeluh karena ruwetnya pekerjaan kantor, beban hidup yang mereka tanggung sehari-hari, padahal pekerjaan mereka termasuk sangat baik, dan dikategorikan mapan. Aku bukan anti kemapanan atau apa. Aku hanya merasa bersyukur atas apa yang aku punya, dan yang tidak aku punya. Everything happens for a reason.
Maka, aku memilih jalan hidup ini, karena aku merasa itulah takdirku.

Q: Saya dengar mas norman belajar gitar secara otodidak. Gimana caranya bisa punya ilmu banyak tanpa harus ngeluarin biaya banyak untuk sekolah musik?

A: Aku belajar dari siapa aja bro. Dari teman. Dari orang yang lebih jago, dan dari orang yang tidak lebih jago dari saya. Karena seluruh semesta ini ilmu. Dari memperhatikan dan mempelajari, maka kita akan dapat ilmu. Dan segala ilmu itu nyambung. Aku bisa melihat benang merah antara rumus fisika dengan musik. Atau antara struktur bangunan dengan seni tari. Semua itu nyambung. Nyambung kepada Yang membuat hidup. Jadi, selama kamu mau membuka diri terhadap apapun juga yang ada di dalam hidupmu, termasuk masalah dan problem hidup, maka ilmu semakin bertambah. Oh iya satu lagi, pelajarilah banyak bahasa. Karena dari bahasa, pengetahuan diajarkan.

Q: Gimana biar bisa bermain gitar secara cepat? Ada cara untuk meningkatkan speed jari-jari kita?
A: Saya memulainya dengan sangat lambat.....

Q: Halo brother, aku udah kenal kamu sejak SMP, dan sampai sekarang kamu gak berubah. Kamu datang dan pergi tanpa beban. Menebar canda, bikin keramaian, ngarang cerita-cerita lucu, tapi kadang juga bisa filosofis dan penuh makna. Aku cuma pengen tahu, apa sih rahasia biar easy going kayak kamu? Because nothing has ever wipe the big warm smile from your face....
A: Hahaha. Thanks sista. You just don't know what I do behind locked door. Haha. Tapi aku paham maksudmu. Aku juga gak tau rahasianya apa. Mungkin karena aku pikir, dengan semua masalah yang ada, itu semua gak akan selesai saat kita menangis. Hehe. Masalah akan selesai, saat ditakdirkan untuk selesai. Jadi aku gak pernah mau mikir macam-macam. Kasih saja jari tengah pada semua itu. Beres Hahahahahaha......

Q: Berapa jam mas Norman latihan tiap hari?
A: wah aku gak pernah latihan bro. Aku cuma main dan main. Kadang aku main gitar sambil nonton TV atau Film. Itu aja. Dan gak pernah lebih dari dua jam. Karena rata-rata film itu dua jam. Hehe. Tapi ini bukan contoh yang patut ditiru.Bagiku manusia itu punya limit juga, percuma latihan 8 jam sehari, tapi kemudian gak ada hasilnya. Mending 15 menit tapi punya hasil yang bagus. Jadi rahasianya adalah di efektifitas latihan. Bukan di lamanya latihan. Tapi inti sebenarnya adalah kamu senang main gitar. Kadang pas kalo lagi senang main gitar, aku bisa makan sambil gitaran, atau baca buku sambil gitaran. Ini lagi coba-coba mandi sambil gitaran. Tapi masih belum bisa. Hehe.

Q: Kenapa kamu suka Che Guevara?
A: Aku tahu Che saat kuliah dulu. Dan sejak itu suka banget. Alasannya karena Che adalah tipe orang yang mengorbankan hidupnya demi kebahagiaan orang lain. Aku suka konsep itu. Ketika kamu menjadi bahagia saat melihat orang lain bahagia. That's what LOVE is, right?. Che sendiri bilang bahwa revolusi hanya terjadi atas dasar CINTA. Dan aku sepakat banget. Che adalah tokoh revolusioner yang romantis, avontourir, pemberani dan tulus. Aku mungkin gak punya semua kapasitas itu, tapi aku pengen banget bisa kayak dia. Itulah sebabnya saat kuliah dulu, aku aktif di pergerakkan. Bikin demo, kritis, dan lain-lain. Sekarang aku 'agak' berhenti, karena aku gak melihat lagi ketulusan dalam pergerakan para aktivis sekarang. Tapi suatu saat, ketika revolusi terjadi, aku yakin aku pasti akan berada di barisan paling depan. Insya Alloh.

Q: Saat kamu nyiptain lagu, dan lagu itu diklaim sebagai ciptain orang lain, apa yang kamu lakukan?
A: Aku sangat suka proses nyiptain lagu, dan merekamnya. Tapi aku gak suka saat manggung dan membawakannya. Gak tau ya kenapa. Karena mungkin aku merasa, saat terjujur dalam berkarya adalah saat mencipta dan merekam. Saat di panggung dan membawakannya, itu adalah 'akting' aja. Tapi, menjawab pertanyaanmu, aku akan bilang bahwa aku gak perduli. Aku bisa saja ngasih seluruh lagu ciptaanku ke orang lain tanpa minta uang sepeser pun. Karena kebahagiaanku bukan pada pengakuan, tapi pada penciptaan.
Cuma, yang bikin aku berontak adalah ketika seseorang tidak menepati janjinya. Itu aja. Dan aku sudah terlalu sering berurusan dengan mulut-mulut palsu dan hati culas. Sampai-sampai aku tahu kalo mereka itu berbohong, hanya dengan membaca tulisan dari SMS mereka. Aku berani bertarung untuk hak-hak ku. Tapi jika aku dengan ikhlas memberikan laguku untuk diklaim sebagai ciptaan orang lain, aku sih gak masalah. Asal aku sendiri sebelumnya ikhlas.

Q: Aku pernah lihat mas Norman sekali pegang gitar aja bisa langsung nyiptain lagu banyak banget. Langsung di tempat. Dengan musik yang berbeda-beda, dan lirik langsung dinyanyikan saat itu juga tanpa dicatat lebih dulu. Gimana caranya?

A: Aku juga gak bisa jawab. Tapi satu yang aku tau, lagu mencari tuannya sendiri. Karya akan mencari  penciptanya sendiri. It's all open in the sky, all you have to do is reach for it. Tapi kalo bisa ngasih tips, coba aja ngarang-ngarang lagu sederhana dulu. Dengan lirik terserah kamu. Mau yang lucu atau sedih-sedih. Dengan kord yang sederhana. Semakin sering kamu 'ngawur-ngawur', lama-lama pasti tambah mahir. Dulu aku sering duduk dengan teman-teman, lalu ngarang-ngarang cerita. Saat ngarang cerita, aku main gitar juga bikin soundtracknya. Cuma buat lucu-lucuan. Tapi itu melatih imajinasi juga. Coba kamu pikir rasanya saat kamu lagi seneng ketemu pacarmu. Bayangin suasananya, bayangin perasaan yang timbul. Setelah itu bayangin kira-kira musik 'soundtrack'nya kayak apa. Bisa aja satu nada aja, bisa satu kord, bisa satu lagu penuh, bisa satu lagu penuh beserta aransemen musiknya sekalian. Aku sendiri udah padah tahap saat aku ngarang lagu, aku bisa bayangin ketukan drumnya kayak gimana, bassnya gimana, gitarnya gimana, soundnya gimana, bahkan sampai mixingnya juga sudah ada dalam bayanganku saat itu juga saat aku ngarang. Emang butuh waktu lama sih untuk bisa kayak gitu, tapi kalo kamu rajin mencoba, pasti bisa.


Tuesday, August 23, 2011

CURHAT: Layla Majnun

Beberapa hari yg lalu TV One sempat membahas ini, saya teringat lagi dengan cerita Layla Majnun. Ini adalah cerita klasik timur tengah, yang hampir mirip ama Romeo and Juliet. Saking terkenalnya sampai dijadiin lagu oleh eric Clapton yang judulnya "Layla". Sebenarnya ini adalah kisah nyata, namun kemudia timbul banyak versi dan adaptasi. Salah satu adegan dalam versi yang paling aku suka ceritanya begini: 

Di jaman dahulu kala ada seorang cowok bernama Majnun, yang jatuh cinta dengan seorang cewek bernama Layla. Sayangnya mereka berasal dari keluarga yang bermusuhan. Layla pun tidak suka dengan si Majnun. Tapi si Majnun tetap mencoba mendapatkan cinta Layla.

Suatu hari di rumah Layla diadakan jamuan makan. Keluarganya yg memang kaya raya, mengadakan syukuran. Layla sendiri yang mebagi-bagikan makanan. Antrian begitu panjang, tapi Layla dengan sabar menuangkan makanan ke piring2 orang yang mengantri itu.

Begitu tau kalo di rumah Layla ada acara, si Majnun datang dan ikutan antrian juga. Antrian panjang banget, dan si Majnun senang sekali bisa melihat Layla dari jauh saking panjangnya antrian. Lama2 antriannya semakin dekat, dan dekat. Akhirnya bertemu juga Majnun dengan Layla.

Begitu melihat wajah Majnun, serta merta Layla membanting piring yang disodorkan Majnun. Layla marah-marah dan dengan muak ia menyuruh Majnun pergi dari situ. Seluruh orang kampung yang mengetahui latar belakang mengapa Layla ngamuk-ngamuk, tertawa saja. Mereka merasa Majnun terlalu menggilai Layla dan tidak mengerti kalo Layla tidak suka padanya.

Begitu piring dibanting, dan semua orang yang berada disana menertawakannya. Majnun malah tersenyum senang. Wajahnya sumringah. dan dia terlihat bahagia sekali. Salah satu tamu yang ada di sana merasa penasaran, lalu bertanya kepadanya: 

"Hai Majnun, mengapa kau tertawa senang? tahukah kamu semua orang disini menertawakan nasib cintamu yang sial, dan kebodohanmu? apakah kau tidak marah dan malu piringmu dibanting oleh Layla?

Majnun menjawab. "Aku tahu kenapa Layla membanting piringku. Ia menginginkanku agar mengantri ulang lagi. Agar aku bisa melihat wajahnya dari kejauhan. Agar aku bisa bertemu dengannya lagi,,,,,,"

That's my friends, is a true love,,,,,


CERITA SILAT: Bab 4

Bab 4: Hukuman di Puncak Gunung

Setelah mendapat sedikit perawatan dari gurunya, Cio San merasa lebih baik. Selama 3 hari gihunya merawatnya dengan memberi obat-obatan dari ramuan-ramuan rebusan daun. Pahit sekali rasanya. Tapi Cio San merasa pahitnya obat itu masih kalah pahit dengan sikap gihunya. Selama merawatnya 3 hari itu, Tan Hoat tidak pernah menyapa, dan berbicara dengan Cio San sama sekali. Untuk menanyakan kabarnya saja tidak. Tan Hoat cuma meraba nadi di pergelangan tangan Cio San untuk mengetahui kondisi kesehatannya.

Cio San mencoba memecah kebuntuan dengan mengajak gihunya berbicara, namun cuma dibalas dengan anggukan atau gelengan. Walaupun begitu, Cio San tetap berusaha tersenyum kepada gihunya dan bersikap selalu hormat kepadanya.

Setelah 3 hari dirawat, pada pagi hari ke empat Cio San merasa tubuhnya sudah pulih sepenuhnya. Merasa bosan selama 3 hari di kamar terus, Cio San memutuskan untuk keluar biliknya. Suasana pagi itu sangat cerah. Terdengar suara murid-murid Butongpay yang sedang berlatih.

Cio San berjalan sebentar merasakan cahaya matahari di pagi yang indah itu. Nyaman rasanya. Ia menarik nafas sebentar, mencoba melatih ilmu pernafasan tingkat 5 nya. Ia mengembangkan kedua tangannya kedepan. Menekuk sedikit lututnya. Inilah gerakan pembuka dari Tai Kek Kun. Gerakannya mengalir, kesamping, melangkah ringan ke depan. Melihat gerakan-gerakan ini, orang awam pasti mengira dia sedang menari. Memang Thay Kek Kun ini terlihat mengalun pelan, dan gemulai. Seperti orang menari.

Cio San pun sendiri seperti menikmati gerakan-gerakan itu. Ia menutup matanya dan bergerak dengan indah. Sepertinya seluruh tubuhnya seperti dituntun untuk bergerak. Bukan ia yang menggerakkan tubuhnya, melainkan sebuah ombak atau angin yang menggerakaan tubuhnya.

Ia merasa nikmat sekali. Perasaannya seperti dibawa terbang. Ia sudah mulai merasa mabuk dan terbang ke dunia lain. Sudah dilupakannya gerakan apa yang dia lakukan sekarang. Sudah berapa jurus yang ia lakukan sekarang.

Perasaan hati yang riang karena ia telah sembuh total, suasana pagi yang indah, sinar matahari yang cerah, sejuknya udara pegunungan, kicau burung diatas pohon, dan semua rahmat Tuhan di alam ini seperti membuai Cio San. Ia seperti menjadi tidak sadar atas gerakannya sendiri. Entah sudah jurus keberapa! entah ia sedang melakukan apa! Ia tidak tahu sekarang berada dimana!

Ia seperti terbang, ia seperti bermimpi!

Ia bahkan tidak sadar ada orang berdiri dihadapannya. Tapi dia tidak tahu. Bahkan bisa dibilang dimana kini dia berada, sedang melakukan apa, pada hakekatnya Cio San sudah tidak tahu lagi.

Seketika terasa seluruh tubuhnya semakin segar. Ada kehangatan aneh yang timbul di beberapa bagian tubuhnya. Ada tenaga baru yang terkumpul di perutnya, ada tenaga di kedua tangannya, ada tenaga di kedua kakinya. Perasaan seperti ini baru pertama kali ia rasakan. Tenaga yang mulai terkumpul di seluruh tubuhnya, tiba-tiba mulai mendesak untuk keluar. Ada apa ini? Mengapa sekarang seluruh tenaga ini mulai mendesaknya?

Cio San mulai merasa dadanya sesak. Gerakannya mulai kacau, ia mulai tersadar lagi. Ah, ia kini sedang berada di halaman depan bilik para murid.Ia sedang melakukan gerakan dasar pernafasan. Lalu kenapa kini dadanya sesak. Kesadarannya mulai pulih, ketika itulah terdengar teriakan...

“Salurkan hawa panas di perut ke kedua tangan....jangan menahan nafas, tutup 'pintu belakang' jangan sampai ada tenaga yang bocor, dorong tenaga itu keluar.....!!”

Seketika itu juga terdengar suara blarrr!

Sekeliling Cio San seperti terasa bergetar. Pohon besar yang berada disebelahnya terasa bergetar dan bergoyang-goyang

Cio San mulai melihat ke sekeliling

Ada gihunya, Tan Hoat berdiri di hadapannya.

Cio San seperti baru terbangun dari tidur dan mimpi indah. Namun bangunnya itu seperti orang disiram air. Seperti orang gelagapan. Cio San baru mulai menyadari keadaan sekitarnya.

Gihunya sedang berdiri di hadapannya, dengan tatapan mata yang aneh, beliau lalu bertanya,

“Dari siapa kau mempelajari ilmu silat Thay Kek Kun?” katanya menyelidik

“Teecu..teecu.., tidak mengerti...” kata Cio San terbata-bata

“Gerakanmu itu tadi adalah Thay Kek Kun jurus ke 8....., Siapa yang mengajarkannya kepadamu?” pandangan mata gihunya sungguh menusuk hatinya

“Teecu...., ah..., teecu.., tidak ada yang mengajarkannya kepada teecu, gihuu. Teecu hanya mencoba melatih pernafasan tingkat ke 5...tahu-tahu teecu seperti lupa diri. Tahu-tahu sepertinya tubuh teecu bergerak sendiri, dan teecu tak tahu lagi teecu ada dimana. Lalu tahu-tahu seperti ada tenaga yang timbul...lalu..lalu teecu mendengar suara guru yang menuntun teecu....”

“Benarkah? Aku kan sama sekali belum mengajarimu ilmu itu...” gihunya sendiri juga heran, lalu melanjutkan,

“Atau apakah suhu-suhu yang lain pernah mengajarinmu?”

“Tidak pernah gihu...” jawab Cio San

“Atau apakah kau mencuri belajar dari murid-murid tingkatan 4?” tanya gurunya lagi

“Demi Tuhan, tidak gihu. Teecu ingat betul dulu gihu mengingatkan kalau mencuri belajar adalah perbuatan yang hina, teecu tidak mungkin melakukannya...” jawab Cio San

“Selama ini aku mendengar dari suhu-suhu yang lain bahwa tingkat ilmu silatmu mengalami kemajuan yang sedikit sekali. Malahan ada yang bilang bahwa silatmu tidak maju-maju. Itupun sudah aku perhatikan sendiri tanpa harus menerima laporan suhu yang lain. Lalu bagaimana bisa kau menguasai jurus ke 8 Thay Kek Kun, padahal untuk bisa belajar Thay Kak Kun saja, kau harus menamatkan pelajaran pernafasan yang sampai tingkat 15. Sampai tingkat berapa ilmu pernafasanmu?” tanya Tan Hoat cepat

“Ba..baru..sampai tingkat 5 gihu” jawab Cio San sambil menunduk

“Coba tunjukkan padaku, pernafasan tingkat 5 mu” perintah Tan Hoat

Cio San mulai melakukan gerakan. Sama indahnya dengan gerakan-gerakan yang tadi ia buat. Namun kini ia memusatkn perhatian untuk melakukan gerakan ini sebaik-baiknya. Tapi tidak sampai berapa lama. Ia merasa nafasnya sesak. Ada rasa sempit di dadanya. Hal ini berbeda dengan perasaan dorongan tenaga yang tadi sempat dirasakannya. Seketika Cio San merasa kepalanya pening. Ia lalu berhenti. Keringat dingin mengucur deras dari dahinya.

Tan Hoat memegang nadi di pergelangan tangannya. Denyut itu agak sedikit kacau. Sang gihu berkerut dahinya,

“Tingkatan 5 pernafasan saja belum kau kuasai, tapi kau sudah bisa mengeluarkan jurus ke 8  Thay Kek Kun ....aneh...” Ia seperti berbicara kepada diri sendiri. Lalu meneruskan,

“Apa yang tadi kau lakukan sehingga bisa melakukan gerakan-gerakan jurus itu?” tanyanya

“Teecu hanya bergerak seenaknya saja. Tidak memikirkan macam-macam. Teecu keluar kamar dengan perasaan riang karena sudah sembuh. Teecu menikmati suasana pagi yang segar, dan harumnya bunga-bunga di pagi hari. Lalu teecu fikir, ada baiknya mencoba gerakan-gerakan pernafasan, karena teecu merasa hawa pagi ini nikmat sekali. Barangkali cocok untuk berlatih pernafasan...” jelas Cio San

“Lalu?” tanya suhunya lagi

“Lalu saat bergerak itu, tau-tau teecu seperti dibawa oleh ombak atau angin yang lembut. Gelombang ini seperti menuntun teecu bergerak. Tau-tau teecu seperti tidak sadar. Seperti mimpi dalam tidur. Lalu tau-tau ada tenaga yang muncul dan mendesak dalam tubuh teecu. Saat itu kemudian teecu mendengar ada suara yang menuntun teecu mengeluarkan tenaga itu. Setelah itu teecu membuka mata, dan baru sadar bahwa itu ternyata suara gihu....” jawab Cio San

“Hmmm...aneh juga”

Tan Hoat berkata begitu sambil berusaha berfikir. Memang Cio San tidak mungkin bisa mencuri belajar dari murid atau suhu lain. Karena tidak mungkin dia bisa menguasai jurus Thay kek Kun tingkat pertama sedangkan ia belum bisa menguasai seluruh tingkat 15 pernafasan. Padahal pernafasan itu adalah dasar dari ilmu Thay kek Kun. Ini bahkan Cio San sudah bisa memainkan jurus ke 8 Thay kek Kun.

“Sudahlah”, lanjutnya “Aku kesini memberitahukan kepadamu bahwa nanti siang engkau dipanggil menghadap Ciangbunjin. Membahas kejadian kemarin”

“Baik suhu. Teecu siap menghadap” Cio San tahu. Bahwa perbuatannya kemarin sangat memalukan. Seorang murid Butong menangis karena diserang oleh lawan. Itu adalah perbuatan yang sangat memalukan du dunia kang ow. Jika dunia luar tahu bahwa ada murid Butong yang seperti itu, tentu saja nama Butong akan jatuh.

“Hari ini kau tidak usah latihan dulu, karena kau baru sembuh dari lukamu. Pergilah kau ke dapur dan ambil sarapanmu”

“Baik gihu, terima kasih”

Cio San menghaturkan salam dan membungkuk, saat ia selesai membungkuk suhunya sudah tidak berada di hadapannya.

Karena memang merasa lapar, Cio San menuju ke dapur umum. Seharusnya para murid Butong makan di ruang makan yang besar menyerupai aula. Namun ia memang bangun agak terlambat sehingga lewat waktu makan. Biasanya murid yang terlambat makan, harus menunggu waktu makan berikutnya. Tetapi kondisi Cio San yang baru sembuh dari luka ini merupakan pengecualian.

Begitu di dapur. Suasana sudah sepi. Tapi di bagian belakang memang masih ramai, karena ada beberapa murid yang kebagian tugas mencuci piring.

Saat Cio San masuk, ia disapa oleh tukang masaknya,

“Ah kau terlambat, tapi sudah kusediakan makanmu. Ambil saja di lemari kayu belakang. Di sebelah jendela besar itu.” katanya ramah seperti biasa

Cio San memang lumayan akrab dengan A Liang, si juru masak Butong. Mungkin karena A Liang sendiri memang tidak bisa silat, mereka jadi mempunyai kedekatan tersendiri. A Liang memang bukan murid resmi Butong. Ia adalah seorang juru masak yang bekerja di Butong. Ia tinggal di Butong sudah lama sekali. Puluhan tahun malah. Umurnya sekarang sudah lebih dari 70 tahun.

“Ah terima kasih Liang-lopek (panggilan kepada orang yang sudah tua)” kata Cio San ramah

“Bagaimana lukamu? Sudah sembuh?” tanya A Liang

“Sudah lopek, berkat perawatan Tan-suhu, teecu sudah segar bugar” Cio San menjawab sambil tersenyum.

“Ah lain kali kalau berlatih hati-hatilah, jangan sampai terluka lagi. Ayo sana ambil makanmu. Kudengar perutmu sudah keruncongan begitu. Hahaha....

Mereka berdua tertawa. Memang kalau dibanding dengan berlatih ilmu silat, sebenarnya Cio San lebih suka bercanda seperti ini. Sifatnya memang periang suka bercanda. Cocok juga dengan si tua A Liang yang memang suka tertawa juga.

Selesai makan. Cio San membantu A Liang bersih-bersih, dan menyiapkan makan siang. Memang pagi itu Cio San memang tidak ada kegiatan berlatih karena sudah disuruh beristirahat dulu oleh suhunya. Ia memutuskan untuk membantu A Liang. Sebenarnya A Liang juga mempunyai beberapa pembantu yang masih kecil-kecil, mungkin berumur 10an tahun. Tapi daripada nganggur, yah lebih baik membantu A Liang saja, begitu pikir Cio San

Setelah beberapa lama bekerja memotong sayur, mengiris daging, dan menyiapkan bahan-bahan lain, Cio San pun diajak A Liang untuk memasak. Walaupun selama ini berteman dengan A Liang, belum pernah sekalipun Cio San belajar masak dari sahabat tuanya ini.

Pengalaman baru ini membuatnya tertarik dan senang. Membuatnya lupa akan masalah yang dihadapinya itu. Cio San pun juga ternyata baru tahu kalau dia itu memiliki bakat memasak. Setelah diajarkan sebentar Cio San mulai bisa.

Dasar rasa tahunya memang tinggi, ia pun rajin bertanya mengenai semua langkah-langkah memasak. Apa guna bahan ini? Apa guna bumbu itu? Mengapa bahan ini harus dibungkus daun terlebih dahulu? Kenapa minyak ini harus dipanaskan lama? Dan lain-lain.

Herannya, jika belajar silat kemajuan Cio San lambat sekali, belajar masak malah dia cepat bisa. Hanya hal memotong-motong atau mengupas yang dia perlu waktu untuk menyesuaikan. Tapi dalam hal mengolah, dan pemahamannya tentang bumbu, bahan, dan rasa, Cio San cepat sekali bisa.

A Liang pun dengan sabar mengajarkan dan menunjukkan cara memasak kepadanya. Dari pagi sampai hampir siang Cio San membantu A Liang memasak. Jadi bisa dibilang banyak sekali pengetahuan yang ia dapatkan dalam setengah hari itu.

Kadang-kadang banyak pertanyaan aneh-aneh yang keluar dari mulut Cio San, seperti 'Mengapa merebusnya tidak menggunakan bahan ini? Bukankah bahan ini lebih harum?” atau “Kenapa harus membungkus daging dengan daun pisang?, dan masih banyak lagi pertanyaan Cio San yang dijawab dengan sabar oleh A Liang.

“Kau ini punya minat yang besar ya tentang masak? Baiklah tiap hari jika menganggur kau kesini sajalah. Ku ajarkan resep-resep masak yang hebat-hebat” kata A Liang

“Benarkah? Terima kasih Liang-lopek” tukas Cio San girang

Waktu makan siang pun datang. Cio San membantu A Liang menata piring-piring dan masakan. Mereka juga dibantu oleh beberapa murid Butong lain. Maklum, jumlah seluruh murid Butong ada sekitar 1000an lebih.

Letak meja-meja di ruang makan Butong diatur berdasarkan tingkatan. Setiap tingkatan mempunyai posisi sendiri-sendiri. Begitu juga posisi meja para anggota 15 naga muda. Cio San pun makan disitu juga. Cuma kalau seluruh anggota naga muda makan dengan riang dan bertegur sapa. Cio San makan dengan diam dan sepi. Memang tidak ada orang yang menganggapnya ada. Apalagi mengajaknya berbicara.

Hanya Beng Liong yang mau duduk di dekatnya dan berbicara padanya. Beng Liong ini adalah anggota 15 naga muda yang paling tua umurnya. Sekitar 15 tahun. Dia ini juga adalah anggota yang paling berbakat, paling tampan, dan paling gagah. Semua orang suka padanya. Ia punya tutur kata yang sangat sopan, dan halus. Ia juga ramah dan sama sekali tidak sombong. Walaupun ilmunya paling hebat diantara para naga muda, dia tidak pernah semena-mena pada orang lain. Malahan dia paling sering mengajarkan dan memberi petunjuk kepada murid lain yang belum lancar penguasaan silatnya.

Asal-usul Beng Liong sendiri pun sebenarnya hampir sama dengan Cio San. Inilah mungkin yang membuat kedua orang ini lumayan akrab. Beng Liong berasal dari keluarga yang sangat kaya raya. Ia tinggal di sebuah provinsi yang dekat dengan perbatasan luar tembok besar. Karena bisnis yang semakin surut, keluarganya memutuskan untuk pindah ke daerah ibukota.

Apa nyana, ditengah jalan mereka diserang perampok. Seluruh keluarganya mati, termasuk ayahnya dan ibu serta beberapa orang ibu tirinya. Ayahnya memang punya beberapa istri. Untunglah Beng Liong tidak ikut terbunuh, karena ia merupakan anak laki-laki satunya dalam keluarga itu. Pada saat-saat akhir, ia ditolong oleh salah seorang pendekar Butong yang turun gunung.

Kisah hidup Beng Liong yang hampir sama dengan Cio San ini membuat kedekatan mereka bahkan seperti adik kakak. Orang-orang yang mengerjai Cio San, tidak akan berani melakukannya jika ada Beng Liong. Sayangnya Beng Liong jarang sekali melakukan kegiatan bersama-sama dengan Cio San. Ini karena ilmu dan kemajuan Beng Liong yang pesat, sehingga ia bahkan sudah dilatih oleh tetua-tetua Butong angkatan kedua, yang tempat latihannya berbeda dengan Cio San yang selalu tertinggal ilmunya itu. Jika Beng Liong berlatih di bagian atas kuil, tempat para tetua, Cio San malah berlatih di bagian paling bawah kuil, karena ilmunya jauh tertinggal.

Kini kedua orang anak muda itu sedang makan dan bercakap-cakap.

“Eh Cio San, aku dengar, katanya kau sudah berhasil menguasai Thay Kek Kun jurus ke 8?” tanya Beng Liong

“Ah tidak Liong-ko (kakak Liong), hanya kebetulan saja” jawab Cio San pelan

“Bagaimana ceritanya itu?” tanya Beng Liong tertarik

“Aku hanya iseng-iseng sekenanya bergerak melatih pernafasan tingkat 5. Tahu-tahu tubuhku bergerak sendiri dan ada tenaga yang timbul dalam tubuhku. Untung kemudian Tan-suhu datang dan memberi petunjuk. Kalau tidak, mungkin aku bisa terkena luka dalam karena terserang tenaga ku sendiri”

“Hmmmm, apa benar? Kau beruntung sekali siaute (adik perguruan)” tukas Beng Liong
“Eh suheng [kakak perguruan] dengar dari siapa cerita ini? Apakan dari Tan-suhu” tanya Cio San

“Aku mendengar dari murid-murid lain. Kebetulan mereka melihat kejadian tadi pagi” jawab Beng Liong, lanjutnya lagi “Sayang aku tidak melihat sendiri, padahal menarik juga, mungkin aku bisa belajar banyak”

“Liong-heng ini suka bercanda, mana mungkin aku bisa mengajari Liong-heng? Harusnya Liong-heng lah yang mengajari aku”

“Ah, ilmu itu datang dari mana saja. Jiwa dan hati harus terbuka, baru bisa memahami ilmu silat yang sungguh dalam dan luas bagai samudera” kata Beng Liong

“Iya Liong-heng, terima kasih petunjuknya” Cio San memang sangat menghormati kakak seperguruannya itu

“Hey, ayo cepat habiskan makannya, nanti aku terlambat berlatih. Hari ini aku harus bisa menguasai Thay Kek Kun jurus pertama...” seru Beng Liong

“Ah kakak sudah mulai belajar Thay Kek Kun? hebat-hebat...para naga muda yang lain saja baru belajar pernafasan tingkat 12....” Cio San bertanya dengan kagum

“Iya, syukurlah para guru mau sabar mengajariku...hey ayo cepat makan, aku dengar kau nanti dipanggil oleh Ciangbunjin...”

“Iya...” Cio San menjawab sambil menunduk

“Aku sudah dengar cerita kemaren. Sabar saja. Semua pasti ada hikmah kalau kau mau memahaminya” ucapan Beng Liong ini sebenarnya pantas diucapkan orang tua. Tapi memang Beng Liong ini selalu jauh lebih maju dalam hal apa saja.

“terma kasih, Liong-heng” sambil tersenyum Ciuo San menghabiskan makannya.

Setelah makan kedua orang sahabat ini berpisah lagi. Beng Liong meneruskan latihannya. Padahal jadwal setelah makan siang adalah jam istirahat siang bagi murid-murid Butong. Tapi semangat dan kecintaan Beng Liong  pada ilmu silat membuatnya eman menghabiskan waktu tanpa belajar silat.

Murid-murid yang lain memilih beristirahat. Ada yang duduk sambil bercengkerama berkelompok, ada yang memilih tidur-tiduran, ada juga yang mengulang-ngulang pelajaran silatnya tadi pagi. Cio San memilih pergi mandi membersihkan diri di sebuah sungai kecil yang mengalir di belakang kuil.

Kegiatannya tadi membantu Liang-lopek membuat tubuhnya berkeringat dan bahkan bau asap. Jika nanti bertemu ciangbunjin dengan keadaan seperti ini, ia takut dianggap tidak tahu aturan.

Cio San hanya mandi sebentar. Karena hanya perempuan yang betah mandi lama-lama. Jika ada laki-laki yang mandinya lama, bisa diragukan juga kualitas kelaki-lakiannya. Mungkin saja ia benar laki-laki. Tapi pasti dia itu laki-laki pesolek.

Dan Cio San memang tidak suka bersolek.

Setelah menceburkan diri beberapa lama disungai, Cio San sudah berganti pakaian. Ia memilih pakaian yang jarang dipakainya. Jika bertemu dengan Lau Tian Liong memang ada perasaan tunduk dalam hati Cio San.

Apalagi pertemuan nanti, sepertinya membahas hukuman yang harus ia lalu. Cio San mencoba mengeraskan dan menguatkan hatinya. Sebagai laki-laki, ia harus mempertanggungjawabkan semua perbuatannya. Ia memilih untuk tidak menceritakan semua perbuatan dan perlakuan murid-murid lain terhadap dirinya.

Walaupun ia sering merasa disepelekan, bahkan keberadaannya itu sering dianggap tidak ada oleh orang lain, bolehlah menyakiti hatinya. Tapi jika itu harus dia pakai sebagai alasan supaya tidak usah dihukum, maka bolehlah dia bisa dibilang bukan laki-laki.

Anak laki-laki umur seperti Cio San, memang sedang senang-senangnya menunjukkan kelaki-lakiannya. Umur seperti ini memang beranjak dari usia anak-anak memasuki usia remaja. Masa dimana seorang anak kecil merasa ia sudah 'dewasa'. Padahal sebenarnya remaja sungguh tak jauh beda dengan anak-anak. Malahan orang dewasa pun juga tak jarang masih sama dengan anak-anak.

Cio San kini berjalan dari sungai menuju biliknya. Sering ia berpapasan dengan beberapa murid Butong. Sekedar bertegur dan bertukar senyum. Masih banyak juga ternyata yang ramah-ramah. Tapi orang-orang ini memang tidak begitu kenal dengan Cio San.

Yang paling tidak menyenangkan itu jika kau disepelekan dan tidak diacuhkan sahabat-sahabatmu. Kalau kau tidak diacuhkan oleh orang-orang yang tidak mengenalmu, maka boleh dibilang semua orang didunia ini mengalaminya.

Itulah yang dirasakan Cio San selama ini. Beberapa orang yang dianggap sahabatnya, malah tidak menganggapnya sama sekali. Makan bersama tidak diajak, keluar bermain tidak diajak, berlatih bersama pun tidak diajak. Mengobrol pun kadang mengeluarkan kata-kata yang menyakiti hati.

Bagusnya Cio San, ia tidak menyalahkan siapa-siapa kecuali dirinya sendiri. Memang dalam hati, sejak lama ia sudah ingin memperbaiki dirinya. Menunjukkan kepada orang-orang bahwa dia itu bukan 'anak bawang'. Bukan pecundang yang hanya bisa ditertawakan. Mungkin inilah satu-satunya alasan Cio San ingin bertahan disini. Membuktikan pada orang-orang bahwa dia bisa menjadi 'sesuatu'.

Berfikir seperti ini, membuat Cio San semakin bersemangat.

Ia kini sedang berada di biliknya. Berbaring terlentang diatas dipan dengan berbantalkan kedua telapak tangannya. Posisi seperti ini memang posisi kesukaannya.

Tak berapa lama, terdengar suara,

“Cio San, ayo naik ke ruang ketua”

Suara itu kecil saja. Tidak keras, namun terdengar jelas. Cio San lekas bangkit dan keluar. Ia tidak melihat siapa-siapa di dekat situ. Tanpa menunggu lebih lama ia berlari mendaki tangga menuju ruang ketua. Ada jarak sekitar seratus lima puluh li. Gihunya, Tan Hoat ternyata sudah menunggu di depan pintu ketua. Rupanya ilmu mengirimkan suara gurunya itu sudah sangat hebat, sehingga bisa mengirimkan suara dengan jelas dari jarak sebegitu jauhnya.

“Ayo masuk. Ciangbunjin sudah menunggu” kata gihunya

Cio San mengangguk. Ia lalu memberi salam kepada gihunya itu. Lalu mengucap salam kepada Lau pangcu,

“Teecu, Cio San, anggota 15 naga muda memberi salam kepada pangcu. Semoga Thian selalu memberi  kesehatan dan kebaikan” kata Cio San dari luar pintu

Dari dalam, terdengar suara sang pangcu,

“Masuklah, Cio San”

Begitu pintu dibuka, nampaklah Ruang ketua itu. Tidak terlalu besar, tapi juga tidak terlalu sempit. Ruangan ini biasanya dipakai sebagai ruang tugas Pangcu. Tempat ia menerima tamu, atau memberi perintah. Intinya, ruang ini dipakai sebagai ruang resmi kepala Butongpay.

“Teecu, Cio San menghadap ketua” sambil berkata begitu, Cio San mengatup tangan di depan dada.

Sambil tersenyum Lau-pangcu berkata, “Sudahlah jangan terlalu banyak aturan”

Cio San mengangguk hormat.

Ternyata di dalam ruangan ini, Lau-pangcu tidak sendirian. Ada 4 orang disebelahnya. Dua di kiri, dan dua di kanan. Ke empat orang ini adalah penasehat utama ketua Butongpay. Mereka adalah dari angkatan ke 2. Wajahnya mereka angker. Cio San mengenal nama-nama orang ini.

Cou Leng, berdagu panjang, dengan jenggot yang semakin membuat wajahnya terlihat lebih panjang

Yo Han, bertubuh tinggi besar, matanya selalu tertutup, dan bibirnya selalu berkomat-kamit

Yo Ang, kakak dari Yo Han tapi justru tubuhnya kecil. Tatapan matanya, Cio San bahkan tidak berani melihat karena khawatir 'tertusuk'.

Oey Tang Wan, selalu tersenyum.

Usia ke empat ini sekitar awal 60 tahunan. Tapi seperti Lau-pangcu, wajah mereka terlihat lebih muda sepulu atau lima belas tahun.

Ada rasa tergetar juga di hati Cio San. Ia memang jarang bertemu orang-orang ini. Tapi kekosenan ke 4 orang ini memang sudah sering terdengar. Kabarnya ilmu ke empat orang ini hanya satu tingkat dibawah Lau-pangcu.

Dalam hati Cio San kagum jaga. Dari cahaya pancaran wajah mereka saja, bisa kita ukur kesaktian mereka.


“Cio San”, kata Lau pangcu, suaranya tenang sekali,

“Teecu mendengar suhu” jawab Cio San menghormat

“Kejadian beberapa hari yang lalu, sudah kudengar. Bahkan seluruh Butongpay ini sudah mendengar” lanjut Lau-pangcu

Cio San menunduk khidmat

“Mengapa kau menangis saat kau diserang A Pao?” tanya sang pangcu

Cio San terdiam beberapa detik. Ia telah memikirkan jawaban atas pertanyaan ini sejak beberapa hari. Dan mantap ia menjawab,

“Teecu tidak mempunyai alasan apa-apa suhu. Teecu siap bertanggung jawab dan menerima hukuman atas perbuatan teecu itu, suhu”

“Benar kau tidak mempunya alasan apapun? Apakah saat bertarung itu kau sedang dirundung masalah? Atau kau teringat ayah ibumu?” tanya Lau pangcu lagi

“Sama sekali tidak suhu. Mungkin teecu saja yang terlalu berhati lemah, sehingga terjadi kejadian seperti kemarin”

“Para totiang ada pertanyaan kepada Cio San?” tanya Lau-pangcu kepada ke empat orang penasehatnya

Yo Ang, yang bertubuh kecil dan bermata tajam membuka suara,

“Apakah kau takut diserang oleh A Pao?” ternyata suaranya cempreng, cocok dengan badannya yang kecil

Cio San jelas tidak takut. Tapi mau menjawab apa dia bingung. Akhirnya dia diam saja. Bagi sebagian orang, diam itu berarti 'Iya'.

“Memalukan.....”

Oey Tang Wan, yang wajahnya selalu tersenyum, kini juga membuka suara

“Cio San, anakku, jika ada ganjalan di hati, bicarakanlah. Seorang laki-laki sejati tidak akan takut mengungkapkan apa yang ada dalam pikirannya”

Bagaimana mungkin Cio San membuka semua masalah yang dialaminya. Hatinya terlalu berat untuk kemudian menyalahkan orang lain. Jika dia menceritakan semua perlakuan buruk yang dihadapinya, bukankah akan semakin memperlihatkan kelemahannya. Bukankah hal seperti ini malah akan menambah kemarahan orang?. Cio San memilih untuk menyimpan semua itu. Apalagi jika ia mengungkapkannya, bukankah nanti akan timbul berbagai masalah baru dan pergesekan di dalam perguruan?

Bisa jadi ketika ia membuka cerita, hubungannya dengan murid-murid yang lain akan semakin buruk, dan dia akan semakin dijauhi karena dianggap sebagai pengadu. Anak-anak seusia Cio San memang tak jarang berfikiran seperti ini. Rasa kesetiakawanan mereka yang masih polos selalu membuat mereka takut kehilangan teman.

Cou Leng, totiang yang berwajah panjang, juga membuka suara

“Kami sudah mendengar cerita dari A Pao. Bahwa dia mengajak kau berlatih ilmu totokan. Setelah bertanding beberapa lama, kau terdesak oleh serangannya dan mulai menangis. Apa benar?” tanyanya

Terdiam sebentar, Cio San menjawab, “Benar totiang”

“Huh...” itu suara Yo Ang

Kali ini Lau-pangcu yang membuka suara,

“Cio San apakah kau paham arti perbuatanmu itu?” tanyanya

“Teecu paham sekali suhu. Bahwa seorang laki-laki pantas menangis di dalam pertarungan. Apalagi laki-laki itu mengaku sebagai murid Butongpay. Perbuatan teecu membuat malu seluruh anggota Butongpay. Dan teecu siap bertanggung jawab atas perbuatan teecu”

“Bagus. Kau tahu hukuman apa yang harus kau hadapi?” tanya Lau-pangcu lagi

“Setahu teecu, hukuman paling ringan bagi ketidakdisipilinan di dalam peraturan Butongpay adalah  diasingkan ke atas pondok bambu di puncak tertinggi Butong san. Sedangkan hukuman terberat adalah dikeluarkan dari Butongpay”

“Bagus jika kau tau. Para totiang, apakah menurut totiang sekalian, Cio San melakukan pelanggaran berat atau ringan?”

“Berat!” tukas Yo Ang

Sedangkan para totiang lain masih diam dan berfikir

Oey Tang Wan berkata, “Menurut saya, kejadian itu memang pelanggaran berat. Tapi kita bisa memberi hukuman yang lebih mendidik kepada Cio San. Saya melihat masih ada kebaikan dalam diri Cio San”

“Kebaikan macam apa?” sahut Yo Ang, “Ilmu silatnya saja tidak maju-maju. Padahal dia itu anggota 15 naga muda. Menjadi murid 'biasa' Butongpay saja ia sudah tidak pantas. Apalagi masuk dalam kelompok unggulan seperti 15 naga muda”

Suara cemprengnya seperti menusuk tulang.

Oey Tang Wan masih tersenyum, sambil manggut-manggut ia berkata,

“Bukankah dalam Butongpay, tidak hanya melulu belajar silat? Penguasaan sastra dan ilmu pengobatan juga sangat penting. Menurut saya bakat sastra Cio San sangat besar. Toh kita dulu sepakat memasukkannya dalam kelompok naga muda berdasarkan pertimbangan bakat sastranya?”

Yo Ang yang manggut-manggut kali ini.

Walaupun kedua orang ini sering silang pendapat. Tapi mereka sangat legawa dalam menghormati pendapat yang dianggap benar.

“Tan hoat, guru pengawas dari Cio San mohon ijin untuk mengutarakan pendapat” terdengar suara Tan Hoat dari luar pintu.

“Masuk saja Tan Hoat” jawab Lau-pangcu

Setelah masuk dan memberi hormat, Tan Hoat berkata,

“Mohon maaf karena teecu berani lancang dalam urusan ini. Tetapi ada satu hal yang ingin teecu sampaikan yang mungkin bisa menjadi bahan pertimbangan bagi suhu dan totiang sekalian” kata Tan Hoat

“Katakanlah” sahut Lau-pangcu

“Tadi pagi, teecu tidak sengaja melihat sebuah keanehan. Cio San, yang pelajaran pernafasan dasar hanya baru tingkat ke 5. Sudah bisa melakukan jurus ke 8 Thay Kek Kun”

Tredengar suara kaget dari sekalian orang di dalam ruangan

“Lanjutkan” kata Lau pangcu

“Setelah teecu tanya, dari siapa ia mempelajari jurus itu, Cio San mengaku belum pernah diajari oleh siapapun. Pada awalnya teecu tidak percaya kepada jawabannya itu. Tapi setelah teecu berfikir, memang tidak mungkin orang yang belum menguasai seluruh tingkatan pernafasan dasar bisa melakukan jurus Thay kek Kun, maka teecu anggap ini memang suatu kebetulan belaka”

“Cio San, apa benar yang dikatakan gihumu itu? Coba ceritakan dari awal?” kata Lau-pangcu

Cio San pun mulai bercerita. Seluruh kejadian itu ia ceritakan tanpa ia kurangi dan tambahi.

Selesai bercerita terdengar ke empat totiang saling berpandang satu sama lain, dan berdiskusi. Terdengar perbedaan pendapat, dan pada akhirnya Lau-pangcu lah yang berkata,

“Begini saja,” kata Lau pangcu

“Kejadian ini memang aneh dan ajaib. Tapi juga bukan berarti tidak masuk akal. Kedalaman ilmu Thay Kek Kun memang sangat dalam, sehingga semakin dalam kau pelajari, semakin juga terasa kecil dirimu dihadapan ilmu yang sangat luas.”

“Melihat bahwa ternyata Cio San sanggup melakukan hal seperti itu, ini menandakan ia sebenarnya mempunyai bakat dalam ilmu silat. Cuma mungkin ketertinggalannya itu disebabkan oleh kemalasan, dan kekurangpahamannya sendiri.”

“Aku memberikan 2 pilihan kepada Cio San. Pilihan pertama, kau tidak akan dihukum dalam pengasingan, namun kau harus mundur dari kelompok 15 naga, dan menjadi anggota murid 'biasa'. Atau pilihan kedua, kau boleh tetap menjadi anggota 15 naga muda, tetapi kau harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu dengan diasingkan ke pondok bambu. Selain itu disana kau harus rajin berlatih sehingga ketika turun kembali, kau harus bisa mengalahkan A Pao. Jika kau tidak mampu mengalahkan A Pao, maka dengan sukarela kau harus keluar dari 15 naga muda dan menjadi murid biasa. Bagaimana Cio San?”

Setelah berfikir sebentar, Cio San berkata, “Teecu memilih pilihan kedua, suhu”

Ada senyum yang tersungging di bibir Lau-pangcu, ia lalu berkata,

“Bagus, itulah yang ingin kudengar dari mulut seorang murid Butongpay. Berani bertanggung jawab dan menerima hukuman. Jika tadi kau memilih pilihan pertama. Aku akan langsung mengeluarkanmu dari Butongpay”

“Karena kau adalah murid termuda yang dihukum dalam pengasingan. Maka aku memberi keringanan padamu. Jika biasanya hukumannya harus setahun dalam pengasingan, kau cukup menjalaninya selama 3 bulan. Siapa saja boleh menjengukmu setiap saat, tapi kau tidak diperbolehkan turun, atau keluar dari puncak. Selama disana kau harus rajin berlatih, sehingga begitu turun, kau harus sanggup mengalahkan A Pao. Siapkah kau?”

“Teecu siap suhu” kata Cio San sambil menunduk khidmat

“Bagus. Bersiap-siaplah sekarang. Hari ini juga begitu siap, kau harus sudah berangkat ke pondok bambu”

“Teecu siap menjalankan perintah.




Cio San telah selesai membuntal pakaian-pakaiannya. Begitu keluar dari biliknya, Tan Hoat telah berada di depan pintu menantinya. Berbeda dengan beberapa hari akhir-akhir ini, wajah Tan Hoat sudah tidak seketus belakangan ini.

Tan Hoat sambil tersenyum berkata,

“Sudah siap? aku akan mengantarkanmu ke pondok bambu”

“Sudah gihu, tapi anak ingin berpamitan dengan beberapa orang terlebih dahulu. Bolehkah?”

“Pergilah, aku menanti di pohon willow dekat kolam gedung utama. Jangan lama-lama, takutnya kita telat berangkat dan kemalaman”

“Terima kasih gihu” sambil berkata begitu, ia memberi hormat dan segera bergegas.

Pertama-tama ia mencari Liang-lopek. Orang tua ini memang selalu akrab dengannya. Kesukaan baru Cio San, yaitu belajar masak, memang harus tertunda dulu. Padahal ia senang sekali mempelajari kemampuan baru ini.
Cio San menemukan Liang-lopek sedang beberes di dapur belakang.

“Ah kau.., bagaimana? sudah bertemu pangcu? Apa kata pangcu?” tanya Liang-lopek

“Sudah lopek. Kata pangcu, saya harus ke pondok bambu selama 3 bulan” sambil berkata begitu ia membuat mimik muka yang lucu. Nampaknya hukuman seperti ini lumayan menyenangkan juga bagi Cio San.

“Haha, kau senang ya disuruh menyendiri 3 bulan? Tak ada orang yang mengganggumu disana kan?”

“Iya Lopek, haha”

“Kalau bukan orang yang mengganggumu, bisa saja setan gunung yang mengganggumu” goda Liang-lopek sambil membuat mimik muka seram

“Asal saya tidak disuruh berlatih silat, nampaknya diganggu setan gunung juga lebih baik” tawa Cio San

“Hus, jika didengar gurumu, hukumanmu bisa-bisa diganti disuruh belajar silat terus, tidak boleh makan dan tidak boleh tidur”

Mereka berdua tertawa lagi,

Tiba-tiba Liang-lopek berkata,

“Eh aku punya sesuatu yang bisa kau pakai untuk menemanimu disana”

“Apa itu, lopek?”

“Tunggu sebentar”

Liang-lopek lalu pergi ke biliknya. Tak berapa lama ia keluar membawa beberapa barang.

“Ini ada sebuah panci kecil. Supaya kau bisa memasak sendiri disana. Memang aku tahu biasanya setiap beberapa hari sekali ada murid yang mengantarkan makanan bagimu kesana. Tapi ku pikir kau mungkin ingin memasak sendiri, sambil mencoba-coba resep yang ku ajarkan tadi”

“Ah terima kasih lopek” Cio San tertawa senang

“Ngomong-ngomong tentang resep, ini ku kasih juga buku resep khusus. Di dalamnya selain ada resep-resep masakan kuno, juga ada penjelasan tetntang bahan-bahan dan tanaman-tanaman khusus.

“Terima kasih lopek. Saya pasti mempelajari buku itu”

“Nah ini yang terakhir, ku bawakan juga sebuah khim (sejenis kecapi) kecil untuk menemanimu bernyanyi dengan setan gunung. Hahahaha”

“Hahaha, lopek jangan bergurau. Saya kan tidak bisa bermain khim. Walaupun ayah saya mahir sekali bermain, saya sama sekali belum pernah mencobanya”
“Kalau ayahmu mahir bermain, pastilah juga itu menurun kepadamu. Coba-coba saja lah.”

“Huh bisa-bisa nanti waktuku habis kupakai belajar khim dan belajar masak. Pelajaran silat bisa terlupa semua. Bahaya” wajah Cio San membuat mimik lucu lagi

Tiba-tiba ia melanjutkan,

“Aha, saya tahu. Lopek sengaja memberikanku barang-barang ini, supaya saya sama sekali tidak belajar silat kan?. Supaya jika saya kalah dengan A Pao, saya dipindahkan ke bagian dapur dan jadi anak buah lopek?”

“Hahahahah”

Mereka berdua tertawa berbarengan. Ada rasa hangat yang timbul di hati mereka saat bergurau. Memang tidak ada perasaan yang lebih menyenangkan selain berkumpul bersama temanmu, dan bergurau bersama. Rasanya seperti semua beban dalam hatimu terlupakan untuk beberapa saat.

“Eh kau cepatlah berangkat, nanti kemalaman di jalan. Aku akan sering-sering mengunjungimu jika diijinkan oleh gurumu”

“Kata guru, siapapun boleh mengunjungi saya diatas sana. Tapi saya yang tidak boleh meninggalkan tempat itu”

“Hmmm baguslah. Kalau ada waktu senggang aku akan sering-sering naik kesana. Kau jaga diri baik-baik yah. Belajar masak yang rajin, biar nanti kalau aku kesana, kau yang memasak untukku”

“Baik lopek, terima kasih. Mohon doa restu agar saya berhasil”

“Baik-baik”

Cio San memberi hormat dengan membungkuk serendah mungkin. Ada perasaan haru dalam hati Liang-lopek ketika menerima penghormatan seperti itu. Selama ini, tidak ada murid Butongpay yang memberi hormat seperti itu kepadanya. Hanya Cio San yang memperlakukannya seperti guru. Itulah kenapa ia sangat menyukai anak kecil yang polos ini.

Setelah memberi salam, Cio San bergegas pergi. Tidak ada wajah ketakutan di dalam hatinya. Mungkin karena ia tidak tahu bagaimana keadaan puncak tertinggi Butongsan yang sebenarnya. Cio San pergi dengan riang tanpa rasa berat dihatinya.

Memandangi punggung anak kecil yang bersemangat itu, Liang-lopek membatin dalam hati,

“Mudah-mudahan Butongpay menjadi lebih jaya karena anak ini”




Setelah dari tempat Liang-lopek, Cio San menuju ke ruang latihan utama, tempat biasanya para 15 naga muda berlatih. Karena saat ini memang masih jam istirahat, ruangan itu masih sepi. Namun sesuai dugaan Cio San, masih ada satu orang yang berlatih disana. Siapa lagi kalau bukan Beng Liong.
Remaja tampan dan gagah ini, memang tidak pernah melewatkan waktu tanpa berlatih silat. Ia bersilat sendirian. Memainkan jurus-jurus dasar Butongpay. Namun gerakannya terlihat mantap dan lincah. Peluh mengalir disekujur tubuhnya yang bertelanjang dada. Di umur yang baru sekitar 15an tahun, tubuh Beng Liong terlihat tegap dan gagah.

Melihat keseriusan Beng Liong dalam berlatih, Cio San sungkan mengganggunya. Ia hanya berdiri di belakang Beng Liong. Melihat gerakan-gerakan silatnya. Memang sungguh hebat sekali. Pantas saja kalau Beng Liong dianggap sebagai 15 naga muda yang paling berbakat.

Merasa ada orang di belakangnya, Beng Liong menyelesaikan gerakannya. Ia berbalik lalu tersenyum kepada Cio San.

“Hey kau datang San-te (adik San)”

“Iya Liong-heng, aku ingin berpamitan kepadamu”

“Memangnya kau mau kemana, San-te?”

“Aku disuruh tinggal sebentar di pondok bambu. Selama 3 bulan”

Beng Liong sudah mengerti bahwa maksuda 'tinggal sebentar' adalah dihukum

“Wah, kau harus tabah ya San-te. Semoga disana kau lebih tenang dalam belajar silat. Kalau ada waktu luang aku ingin pergi kesana. Kata orang pemandangan disana indah. Kita juga bisa berlatih silat bersama-sama”

“Terima kasih Liong-heng. Doakan semoga sute mu ini berhasil ya”

Keduanya lalu bersalaman dan Cio San pun bergegas pergi.

Beng Liong pun menatap punggung yang sedang bergegas itu. Ia tersenyum sebentar dan melanjutkan latihannya.

“Semoga berhasil San-te” katanya dalam hati.




Letak ruang latihan utama memang tidak jauh dari tempat Tan Hoat menunggu. Tidak berapa lama Cio San sudah sampai disana. Saat istirahat siang begini, memang Butoangpay terasa sepi. Karena waktu-waktu ini dipakai para murid untuk memulihkan tenaga mereka setelah seharian mereka berlatih.

“Sudah?” tanya Tan Hoat begitu melihat kedatangan Cio San

“Sudah gihu. Sekarang anak siap berangkat” kata Cio San mantap.

“Baguslah. Ayo” kata Tan Hoat sambil tersenyum

Mereka lalu berjalan menuju pondok bambu, di puncak tertinggi Butongsan.
Sepanjang perjalanan, pemandangan memang indah sekali. Cio San menikmati sekali perjalanan ini. Kadang-kadang ia bertanya kepada gihunya tentang tempat apa saja yang dilihatnya itu. Gihunya dengan sabar menjelaskan.

Tapi tak berapa lama Cio San mulai terlihat ngos-ngosan dan wajahnya mulai pucat. Tan Hoat pun paham bahwa Cio San memang tidak terbiasa mendaki jalan tebing-tebing curam seperti ini sehingga kehabisan nafas.
Ia pun lalu memberi sedikit pelajaran pernafasan kepada Cio San sambil jalan. Ternyata ada teknik nafas khusus sehingga jika melakukan pendakian, seseorang tidak kehabisan nafas.

Pada awalnya Cio San memang kesulitan untuk melakukan yang diajarkan gurunya itu, namun setelah hampir satu jam lebih mencoba, dan mendapat petunjuk terus dari gurunya, Cio San akhirnya berhasil. Nafasnya mulai teratur dan tidak terengah-engah lagi seperti semula. Kondisi organ-organ tubuhnya yang kurang baik, memang membuat Cio San cepat sekali letih dan kehilangan tenaga.

Baru setelah nafasnya teratur dan tubuhnya mulai terasa kuat, wajah Cio San sudah terlihat memerah lagi. Keringatnya pun mengalir deras. Orang biasa yang jika melakukan pekerjaan fisik lalu tidak berkeringat, maka pasti ada yang salah dalam tubuhnya. Kini setelah keringatnya keluar, Cio San malah merasa segar.

Ia sudah bisa mulai bercakap-cakap kembali dengan gihunya,

“Cio San,” kata Tan Hoat, “Sebenarnya dalam hal ini, gihu merasa sangat bersalah kepadamu”

“Ada apa gihu?”

“Gihu sering meninggalkanmu, jadi tidak bisa terus memberi pelajaran kepadamu. Memang diantara ke 15 guru yang menangani 15 naga muda, gihulah yang paling sering meninggalkan kamu dan membiarkanmu latihan sendiri. Gihu mohon maaf kepadamu Cio San...”

“Gihu jangan meminta maaf, semua ini adalah kesalahan anak karena memang tidak memiliki bakat dalam silat. Anak juga malas belajar.”

“Tapi sudah menjadi tanggung jawab gihumu ini untuk mendidikmu, tapi aku malah memarahimu saat kau menghadapi masalah seperti ini. Padahal sudah salahku bahwa aku jarang sekali mendampingimu”

“Bagaimana mungkin anak menyalahkan gihu? Bukankah kepergian gihu karena menjalankan tugas perguruan?”

Tan Hoat hanya tersenyum. Memang Cio San ini pintar sekali berbicara.

“Gihu, sebenarnya tugas apakah yang gihu jalankan? Sejauh yang anak perhatikan, hanya gihu seorang yang sering sekali naik-turun gunung. Sedangkan murid-murid Butongpay yang lain semuanya dipusatkan berada di Butongsan”

“Hmmm, sebenarnya gihu tidak boleh menceritakan ini kepadamu, tapi sebagai bentuk penyesalan gihu terhadapmu. Gihu akan bercerita sedikit saja”

Tan Hoat bercerita bahwa ia ditugaskan oleh Pangcu untuk menyelediki keberadaan kitab silat terhebat tang ditulis oleh Tat-mo. Kitab ini sangat hebat, karena ditulis langsung oleh pencipta ilmu silat, yaitu sang Tat-Mo sendiri.

Keberadaan kitab itu sangat misterius, dan hanya beberapa orang saja yang tahu keberadaan kitab itu. Bahkan thay suhu Thio Sam Hong saja tidak tahu keberadaan kitab itu.

Ditakutkan, jika keberadaan kitab itu tersebar luas, akan terjadi malapetaka besar yang timbul karena setiap orang dalam bu lim akan memperebutkan kitab itu.

“Lalu jika gihu menemukan kitab itu, apa yang akan gihu lakukan?”

Tan Hoat tersenyum mendengar pertanyaan bagus yang keluar dari muridnya itu,

“Tiga perguruan terbesar yaitu, Siau Lim pay, Butong pay, dan Gobipay, sepakat untuk bersatu dan melindungi kitab itu. Jika ketiga partai sudah bersatu, maka siapakah lagi yang berani melawan kita?”

“Tapi bukankah jika partai-partai kecil bersatu, jumlah mereka pun akan menyamai jumlah 3 partai besar ini guru?”

“Partai-partai kecil pun sudah kita dekati dan kita beri pengertian untuk menjaga keutuhan dunia Kang ouw. Memang pasti ada perebutan besar, maka itulah ketiga partai besar sekarang sudah bersiap-siap menyatukan kekuatan, jika sewaktu-waktu kitab itu ditemukan, dan terjadi perebutan besar”

“Wah berarti akan ada perang besar lagi?” Cio San berkata sambil menggeleng-geleng.

“Kenapa kau mengelang Cio San?”

“Anak hanya heran, mengapa orang mau begitu berkorban untuk menjadi ahli silat? Padahal kalau dia menjadi ahli silat, hidupnya hanya dihabiskan untuk berkelahi”

“Kau harus paham bahwa di dunia ini orang punya kesenangan bermacam-macam. Jika ada yang suka sastra, suka mancing, suka musik, suka makanan yang enak-enak, banyak juga yang suka berkelahi”

“Haha, betul juga gihu”

“Oh iya, ada satu hal lagi Cio San.....”

“Apa itu gihu?”

“Aku juga melacak para perampok yang dulu membunuh ayah ibumu....”

Cio San hanya diam. Tan Hoat pun melanjutkan,

“Kelompok perampok ini sebenarnya bukanlah perampok biasa. Tersiar kabar jika ada kelompok rahasia yang berdiri beberapa tahun yang lalu dalam dunia kang ouw. Tujuan mereka sampai saat ini masih belum diketahui dengn jelas. Tapi mereka sering sekali melakukan pembunuhan terhadap orang-orang tertentu. Biasanya korban mereka adalah pejabat-pejabat kerajaan, atau pendekar-pendekar ternama.

Mereka ini mempunyai ilmu silat yang sangat hebat. Tapi gerak geraik mereka sangat rahasia. Sampai sekarang para pendekar kang ouw masih belum mengetahui maksud para perampok ini sebenarnya. Apakah korban-korban mereka ini terbunuh secara acak, ataukah memang ada maksud tertentu”

“Kalau menurut gihu?” tanya Cio San

“Menurutku, pasti ada tujuan tertentu. Aku merasa pergerakan mereka itu pasti ada hubungan dengan perebutan kitab itu”

“Gihu, apa nama kitab itu sebenarnya?”

“Namanya Kitab Inti Semesta”

“Wah dari namanya saja sudah terdengar hebat” tukas Cio San

“Cio San, apakah sewaktu orang tua mu meninggal, kau tidak mendengarkan mereka membicarakan tentang Kitab Inti Semesta?”

“Sejauh yang anak ketahui, ayah dan ibu tidak pernah membicarakan hal itu gihu. Mereka pada akhir-akhir hayat mereka hanya membahas kekisruhan di Gobipay saja”

“Hmmm...” Tan Hoat tidak berkata apa-apa lagi.

Hampir 3 jam mereka mandaki, akhirnya sampai juga mereka ke pondok bambu. Setelah beristirahat sebentar, Tan Hoat mengajak Cio San berkeliling daerah sekitar situ. Ternyata hampir semua kebutuhan sehari-hari bisa di dapatkan disitu.

Ada sungai mengalir yang airnya jernih sekali. Bisa dipakai untuk minum dan mandi. Ikan-ikannya ternyata banyak juga disitu. Diseberang sungai terdapat hutan kecil yang walau tidak terlalu lebat, mempunyai pohon-pohon yang mempunyai banyak buah yang bisa dimakan.

Bagian tertinggi Butong san itu ternyata sangat indah. Di sebelah kanan sungai dan hutan, di sebelah kiri  tebing-tebing bebatuan. Tan Hoat menjelaskan bahwa tebing-tebing itu sangat berbahaya dan mewanti-wanti Cio San untuk berhati-hati jika berada di sekitar tebing itu.

Pondok bambu sendiri juga berdiri tepat dibawah sebuah tebing tinggi. Jika menaiki tebing itu, yang tingginya sekitar 10 meter, maka seseorang akan berada di tempat tertinggi Butongsan.

Di dalam pondok, ternyata suasanyanya bersih sekali. Ada dipan bambu dan sebuah tikar diatasnya. Di sebelah dipan ada meja kecil dan sebuah kursi. Ada juga sebuah tungku perapian yang berguna untuk memasak atau juga membuat api unggun untuk menghangatkan tubuh. Ada juga lampu minyak, sekalian beserta minyaknya.

Sampai saat ini, Cio San baru sadar bahwa hukumannya ini tidak main-main. Ia akan hidup sendirian di sini selama 3 bulan. Rasanya seram juga. Dalam hati ia bergidik, namun sebisa mungkin ia menutupinya dari gihunya itu.

Tan Hoat rupanya berencana untuk menemani Cio San selama satu malam. Buntalan kecil yang ia bawa ternyata berisi beberapa bahan makanan seperti beras, dan bumbu.

“Bahan-bahan ini cukup untuk satu bulan. Nanti jika habis ku bawakan lagi”

Cio San lalu mengucapkan terima kasih kepada gihunya itu.

Setelah malam tiba mereka lalu menyalakan lampu minyak. Suasana disitu walaupun hening, ternyata tidak begitu menyeramkan bagi Cio San. Mungkin karena ia sekarang ditemani oleh Tan Hoat. Seseorang jika mengalami hal berat. Tapi mempunyai kawan orang yang ia senangi dan hormati, maka sedikit banyak hal berat itu menjadi lumayan ringan.

Mereka mengobrol agak lama. Tan Hoat memberi petunjuk-petunjuk tentang ilmu silat. Cio San mendengarkan dengan seksama. Bertanya saat ia bertemu bagian yang belum ia mengerti. Tan Hoat merasa pemahaman Cio San itu sangat dalam, dan anak itu cerdas sekali.

“Kau tidurlah Cio San. Besok pagi-pagi sekali kita bangun dan melatih semua yang tadi sudah kuajarkan”

“Baik Gihu”




Pagi-pagi sekali, kita langit masih kelabu, Cio San dan Tan Hoat sudah berlatih. Cio San mulai melakukan gerak-gerak silat, dan Tan Hoat muali memberi petunjuk-petunjuk lagi. Lama sekali mereka berlatih, sampai hari sudah terang. Lalu mereka beristirahat.

“Cio San, mengapa kau susah sekali melakukan seperti yang kuperintahkan? Bukankah semalam kau sudah paham?”

“Anak sudah paham gihu, anak juga sudah coba melakukan seperti yang gihu perintahkan, tapi entah kenapa hasilnya tidak seperti yang gihu harapkan.

“Apakah mungkin karena organ-organ tubuhmu itu yang tidak bekerja sempurna? Sayang sekali, padahal kecerdasanmu luar biasa, dan kau cepat paham......” Tan Hoat hanya termangu-mangu

“Mungkin...mungkin anak memang dilahirkan tidak dengan bakat silat gihu.....”

“Ahhh....” Hanya itu yang bisa keluar dari mulut Tan Hoat. Matanya seperti menerawang.

Ia mengelus-elus kepala Cio San, sambil berkata, “Kau bersabarlah, jikalah memang kau tidak mempunyai bakat silat, kau mempunyai bakat kecerdasan yang besar. Kau bisa belajar ilmu pengobatan Butongpay, dan sastra. Aku memang terlambat memahami dan menerima kenyataan ini. Tapi untuk sekarang, kau hadapilah dulu hukumanmu ini..., kuatkan hatimu Cio San...”

“Ada gihu yang menyayangi anak, rasanya anak berani menghadapi apa saja gihu....

Setelah beristirahat, mereka berdua lalu mandi di sungai. Sambil mandi mereka ,menangkap ikan. Ternyata ikannya besar-besar. Ada 2 ekor yang mereka tangkap. Setelah mandi, mereka menanak nasi dan ikan itu kemudian mereka bakar dan di santap.
Di dunia ini tidak ada yang bisa mengalahkan nikmatnya makan di alam terbuka bersama orang-orang yang kau sayangi.

“Cio San, sekarang aku harus turun. Mungkin dalam satu-dua hari, aku harus turun Butongsan pula. Tugas penyelidikan sudah harus ku mulai lagi. Mudah-mudahan tidak lama lagi, kita bisa dapat bikin terang masalah kelompok perampok ini.”

Setelah memberi sedikit pesan dan petunjuk, Tan Hoat lalu bergegas turun. Cio San sangat merasa berat, namun ia menahan diri untuk tidak menangis. Airmata mengambang di pelupuk matanya. Entah kenapa ia memang mudah menangis. Hatinya memang lembut. Tapi dia bukan orang yang cengeng, ia hanya orang yang mudah terharu.

Berkali-kali ia mengalami kejadian yang menyedihkan. Kehilangan orang tua, kehilangan kakek dan seluruh keluarganya. Namun ia selalu berusaha menahan kesedihan hatinya. Tapi mata memang tidak bisa berbohong. Sering sekali matanya itu berair. Jangankan terhadap hal-hal besar, terhadap hal-hal kecil saja ia sering terharu.

Setelah sendirian seperti ini, Cio San mulai melamun. Ia melamunkan banyak hal. Kejadian ia kehilangan kedua orang tua, dan seluruh keluarga besarnya. Perlakukan buruk kawan seperguruannya, dan juga hukuman diatas gunung ini. Ia berfikir, penderitaannya malah mungkin tidak hanya dimulai saat ia kehilangan orang tua. Penderitaannya bahkan sudah dimulai sejak ia lahir.

Ia lahir dengan usia kandungan yang kurang dari 9 bulan. Organ-organ tubuhnya bekerja tidak sempurna. Jantungnya lemah, paru-parunya lemah, hampir semua organ tubuhnya lemah. Sejak kecil ia sering sakit-sakitan. Kalau bukan karena ibunya yang menguasai ilmu pengobatan Gobipay, belum tentu ia bisa bertahan hidup sampai sekarang.

Selain memberi pengobatan ramuan, dan tusuk jarum. Ibunya pun masih sering menyalurkan tenaga dalam kepadanya. Bahkan dulu ia sempat mempelajari ilmu pernafasan Gobipay untuk membantu kerja paru-paru dan jantungnya.

Aliran darahnya mengalir tidak normal. Kadang-kadang malah sakit kepala hebat sering menyerangnya. Singkat kata, hampir semua rasa sakit yang ada di dunia ini pernah dialami Cio San. Untungnya memang ibunya selalu berada di dekatnya dan mengobatinya terus menerus.

Beberapa tahun ini, setelah kedua orang tuanya meninggal. Tidak ada lagi yang mengobati Cio San. Ketika sakit kepala, atau sesak nafas menyerangnya, ia menyembunyikannya rapat-rapat. Itulah kenapa  ia tidak bisa dengan sempurna menggunakan ilmu silatnya.

Beberapa petinggi Butongpay bukan tidak mengerti tentang keadaan tubuh Cio San. Mereka pun berusaha untuk menyembuhkannya. Tapi ilmu pengobatan Butongpay yang hebat itu, sama sekali tidak menurun kepada murid-murid dan petinggi Butongpay yang sekarang. Keasyikan mempelajari ilmu silat, membuat mereka sedikit menganaktirikan ilmu pengobatan yang sebenarnya sangtat penting itu.

Mungkin kitab-kitab pengobatan peninggalan Thio Sam Hong masih tersimpan, namun tidak ada seorang pun yang tertarik mendalaminya lagi.

Keadaan Butongpay setelah ditinggal mati olh banyak murid-murid berbakat, dan juga ditinggal Thio Sam Hong, membuat Butongpay benar-benar lemah saat ini. Itulah mereka sekarang mengutamakan berlatih ilmu silat dengan sungguh-sungguh.

Keadaan ini tentu saja menyulitkan Cio San, yang pada awalnya masuk Butongpay untuk mempelajari sastra dan juga ilmu pengobatan. Karena guru-guru Butongpay sekarang memiliki kemampuan sastra yang sangat mengecewakan. Bahkan bisa dibilang Cio San lebih mengerti sastra daripada guru-guru itu sendiri.

Ayahnya yang memang ahli sastra kenamaan, sudah mengajarkan banyak sekali huruf-huruf kuno kepada Cio San. Sejak umur 4 tahun, ia sudah sanggup membaca kitab-kitab kuno. Hal ini memang menjadi kebanggaan tersendiri bagi keluarga Cio. Sejak dari jaman leluhur keluarga Cio, mereka memang terkenal sebagai ahli-ahli sastra yang hebat-hebat.

Kemenangan mengusir penjajah Goan dulu, sebenarnya tidak terlepas dari pengetahuan sastra keluarga Cio ini. Cio Hong Lim, kakek Cio San, bisa menjadi ahli strategi dari tentara pembebas, karena ia faham kitab-kitab kuno. Ia mempelajari strategi-strategi perang jaman dulu, dan menerapkannya pada saat perang dulu. Ditambah lagi ia mampu menerjemahkan sebuah kitab perang jaman dahulu kala yang dulunya tersimpan di dalam sebuah golok sakti.

Kitab perang kuno itulah yang membuat perjuangan itu berhasil, dan membawa Kaisar Ming pertama mendirikan kekaisarannya. Cio Hong Lim sendiri mundur dari jabatannya sebagai ahli strategi begitu kemenangan perjuangan berhasil diraih. Padahal kaisar baru itu sudah menawarkan berbagai jabatan kepadanya. Namun Cio Hong Lim memilih membangun desanya, hingga akhirnya dia sekeluarga terbunuh oleh kawanan perampok.

Mengingat cerita tentang kitab kuno, Cio San jadi teringat sebuah 'kitab', yang diberikan Liang-lopek kepadanya. Bergegas Cio San mengambil kitab itu. Kitab yang tebal itu memang membahas tentang berbagai resep. Dan ternyata banyak sekali huruf kuno di dalamnya. Untunglah Cio San bisa membaca semuanya.

Buku itu menarik sekali baginya. Ada resep-resep masakan, ada juga ramuan-ramuan pengobatan. Ada penjelasan tentang berbagai bahan-bahan, mulai dari sederhana sampai bahan-bahan yang baru dikenalnya.

Seseorang yang gemar sekali membaca, jika diberikan bacaan yang menarik hatinya, maka seluruh perhatiannya akan tercurahkan hanya kepada buku itu. Semua tak dihiraukannya lagi. Bahkan mungkin anak istri sekalipun.

Cio San pun mempunyai sifat semacam ini yang menurun dari ayahnya. Dengan 'rakus' ia membaca halaman demi halaman kitab itu. Daya ingatnya pun kuat sekali. Sekali baca saja ia sudah paham. Keasyikan membaca ini mengalihkannya dari rasa sepi karena sendirian saja di pondok bambu itu.

Tak terasa sudah siang, dan perut Cio San sudah keroncongan dari tadi. Akhirnya ia 'mengalah' dan memilih untuk makan. Nasi dan ikan tadi pagi masih tersisa. Tapi sambil makanpun Cio San masih 'melahap' kitab pemberian Liang-lopek itu.

Sampai malam, hampir sepertiga kitab itu sudah selesai ia baca. Karena selain membaca, Cio San mencoba menghafal-hafal isi bacaannya. Dan herannya, ia memang sudah hafal seluruh yang ia baca tadi. Melihat sendiri pun seseorang tidak akan percaya bahwa ada orang yang bisa menghafal apapun dalam sekali baca.
Namun begitulah Tuhan yang maha adil. Cio San mungkin mempunyai kekurangan fisik, namun daya ingat dan daya pikir otaknya jauh diatas rata-rata orang lain.

Setelah malam, Cio San memutuskan untuk beristirahat dan melatih ilmu pernafasannya yang sudah tertinggal jauh dari kawan-kawan seperguruannya. Memang ia sangat terlambat, namun itu semua bukan karena kekurangfahamannya, namun karena organ-organ dalam tubuhnya yang bekerja kurang sempurna sehingga latihan-latihan itu gagal semua.

Cio San pun mengerti dan faham hal ini. Ia sampai pada kesimpulan bahwa mungkin saja latihan cara Butongpay ini ditujukan kepada mereka yang memiliki organ-organ sehat dan normal, sehingga tidak cocok bagi orang yang seperti dia.

Kesimpulan Cio San ini sebenarnya sungguh lah tepat. Karena pada dasarnya ilmu silat itu harus dicocokkan dengan kemampuan fisik seseorang. Jika seseorang yang fisiknya tinggi, mnaka ada ilmu silat khusus yang membuat orang itu mampu memaksimalkan kelebihan fisiknya. Begitu juga jika orang itu pendek, atau kekar, dan lain-lain. Selalu ada ilmu silat yang lebih cocok bagi keadaan orang tersebut.

Hal inilah yang melahirkan berbagai macam ilmu silat yang ada di dunia ini. Semua disesuaikan dengan keadaan fisik, bahkan mungkin juga keadaan alam sekitar.

Cio San mencapai pemahaman ini dalam waktu sebentar saja, di dalam umur yang sedemikian muda, sebenarnya adalah sesuatu yang sangat luar biasa. Memang daya pikirnya yang tajam membuatnya sanggup memikirkan hal-hal yang tidak dipikirkan orang.

Keadaan ini memang diciptakan Tuhan untuk 'menyeimbangkan' kekurangan fisik yang dimilikinya.

Setelah memahami keadaan dan kenyataan bahwa ilmu Butongpay yang diajarkan kepadanya itu sebenarnya kurang cocok, Cio San mulai memikirkan hal baru lagi. Yaitu bagaimana cara agar ilmu itu menjadi cocok baginya!!

Anak sekecil ini sudah berani mengotak-atik ilmu silat adalah merupakan sesuatu yang berbahaya. Karena jika salah berlatih bisa menyebabkan kegilaan, cacat seumur hidup, bahkan juga kematian. Herannya, Cio San pun juga memahami hal ini walaupun tidak ada seorang pun yang menjelaskan kepadanya.

“ Jika seseorang menggerakan aliran darah, dan aliran tenaga melalui tampat yang tidak seharusnya, maka hal ini akan menyebabkan seluruh kerja tubunya akan menjadi kacau. Ini pasti sangat berbahaya bagi orang itu” begitu pikir Cio San dalam hati,

“Maka sebelum menggerakan aliran darah dan tenaga, seseorang harus mengerti dulu arah gerak normal aliran itu. Kemana seharusnya aliran itu bergerak, bagaimana cara kerjanya, dan lain-lain”

“Sebelum aku bisa merubah ilmu silat Butongpay ini agar sesuai dengan tubuhku, maka sebelumnya aku harus memahami tubuhku sendiri dulu”.

Pemahaman ini adalah pemahaman terbesar dari para ahli silat. Seorang yang mengenal tubuhnya sendiri, pasti akan mampu mengendalikan tubuh itu sseperti yang ia mau.

Memang hebat daya pikir Cio San yang sampai pada pemahaman ini tanpa seorang pun menunjukkan kepadanya. Selama ini di Butongpay, ia hanya diajarkan teori gerak. Ia diharuskna meniru apa yang sudah ditunjukkan oleh gurunya. Sebab mengapa harus bergerak seperti ini, atau seperti itu, mengapa begini, mengapa begitu, tidak ada seorang pun yang menjelaskan kepadanya.

Jika banyak bertanya maka ia akan dimarahi karena terlalu banyak bertanya. Kenyataan bahwa ia tidak sanggup menguasai apa yang diajarkan kepadanya, adalah lahir dari hal seperti ini. Bahwa ia hanya diajarkan bergerak, tanpa mengetahui makna gerakan-gerakan itu. Padahal fisiknya berkembang berbeda dengan orang lain pada umumnya.

Memahami hal ini, Cio San bertekad untuk mempelajari dulu keadaan tubuhnya sendiri. Jika ia sudah benar-benar faham cara kerja organ tubuhnya, maka ia bisa saja 'merubah' sedikit ilmu silat Butongpay yang diajarkan kepadanya agar sesuai dengan keadaan tubuhnya.

Buku pemberian A Liang itu sebenarnya adalah kumpulan buku-buku unik. Ada mengenai resep masakan dan obat-obatan. Bab yang membahas obat-obatan juga memiliki pembahasan tentang tubuh manusia. Tentang aliran darah dan berbagai macam fungsi organ tubuh.

Hal ini membuat Cio San semakin bersemangat mempelajari isi buku yang diberikan A Liang kepadanya. Karena ternyata di dalamnya berisi pengetahuan tentang tubuh manusia juga. Cio San membaca kitab itu dengan lahap sampai ia tertidur.

Pagi-pagi Cio San terbangun. Ia lalu berlatih silat sebentar, sesuai dengan yang dipesankan gurunya. Memang waktu terbaik untuk berlatih silat adalah saat pagi-pagi sekali. Sinar matahari sangat membantu untuk menguatkan tulang, dan menyehatkan tubuh.

Setelah berlatih, dia mulai menanak nasi, kemudian ia tinggal pergi mandi dan menangkap ikan. Setelah nasi sudah masak dan ikan sudah diolah, ia pun makan pagi.

Sambil makan, buku pemberian Liang-lopek itu tidak lepas darinya. Semangat sekali Cio San mempelajari isi buku. Sampai siang ia terus membaca isi buku itu. Kadang-kadang ia memperaktekkan apa yang ada di dalam buku itu. Berfikir sebentar, memperhatikan titik-titik yang ada pada tubuhnya. Mengingat-ingat fungsi titik-titik.

Kegiatan itu berlangsung selama 3 hari berturut-turut. Tak terasa Cio San sudah melalap habis isi buku itu dalam waktu 3 hari!

Hari ke empat, setelah berlatih silat, Cio San melihat bayangan orang dari kejauhan. “Rupanya akan ada tamu”, pikir Cio San.

Tak berapa lama bayangan itu semakin jelas, tampaklah Beng Liong.

Cio San senang sekali bahwa kakak seperguruannya ini datang mengunjunginya. Dari jauh mereka saling tersenyum.

“Ah Liong-heng, selamat datang di gubuk derita ini” teriak Cio San sambil tertawa

“San-te, bagaimana keadaanmu?”

Mereka berbasa-basi sebentar menanyakan kabar dan bercanda. Rasanya memang nikmat jika ada sahabat yang mengunjungimu di kala kau sedang kesepian.

Cio San yang saat sedang menanak nasi, meminta ijin sebentar untuk mandi. Tidak lama kemudian dia pulang membawa dua ekor ikan yang lumayan besar.

Sambil menikmati nasi dan ikan bakar itu. Kedua sahabat kecil itu mulai saling bercerita. Beng Liong menceritakan keadaan perguruan sedangkan Cio San menceritakan kegiatannya 'melahap' buku yang diberikan A Liang kepadanya.

“Pasti menarik sekali buku itu, San-te. Kuharap banyak manfaat yang bisa kau ambil”

“Iya Liong-heng. Di buku ini banyak sekali pengetahuan tentang bahan-bahan alam, dan ramuan-ramuan. Awalnya aku mengira hanya berisi resep masakan, ternyata isinya lebih dari itu. Liang-lopek juga mungkin tidak tahu karena kebanyakan isi buku ini dari huruf-huruf kuno” kata Cio San sambil menunjukkan buku itu.

Beng Liong melihat-lihat isi buku itu kemudian berkata,

“Ah benar. Ternyata banyak huruf-huruf kuno. Kau bisa mengenal seluruh huruf-huruf ini, San-te?”

“Bisa Liong-heng...”

“Seluruhnya?”

“Seluruhnya”

“Wah hebat sekali kau San-te”

“Tidak juga, Liong-heng. Kebetulan saja aku memiliki ayah seorang siucai (sastrawan), sehingga sejak kecil aku memang sudah dikenalkan huruf-huruf itu” tukas Cio San sambil tersenyum

Lama mereka membahas isi buku itu, sampai kemudian Beng Liong berkata,

“Eh San-te, bagaimana kalau kita berlatih silat?”

“Boleh Liong-heng, tapi beri aku petunjuk ya. Ilmu silat ku buruk sekali, Hahahaha”

Kedua orang itu lalu bersilat. Terlihat sekali bahwa memang Beng Liong sangat berbakat dalam ilmu silat. Gerakannya lincah dan mantap. Serangannya bertenaga, dan cepat sekali. Tidak percuma dia dianggap sebagai murid Butongpay yang paling berbakat.

Cio San jelas kelabakan dalam menghadap serangan-serangan Beng Liong. Untunglah Beng Liong sendiri menahan diri sehingga tidak mendesak Cio San.

Sambil bersilat, kadang-kadang Beng Liong memberikan petunjuk-petunjuk tentang serangan dan tipuan-tipuan.

Cukup lama mereka bersilat, sampai kemudian Cio San mulai terlihat terengah-engah. Mengetahui kondisi ini Beng Liong mulai melemahkan serangan-serangannya, sehingga lama-lama mereka sepakat untuk berhenti silat.

“Kau hebat sekali, Liong-heng. Baru 3-4 hari kita berpisah, kemajuannya sudah pesat sekali”

“Benarkah?”

“Benar Liong ko. Serangan-seranganmu bertambah cepat. Bukankah tadi kau memainkan jurus-jurus yang baru saja kau latih 3 hari yang lalu?”

“Iya. Bagaimana kau bisa tahu?...oh aku ingat. Saat aku melatih jurus-jurus itu, kamu datang untuk berpamitan ya?”

“Benar Liong-heng. Hehe.”

Mereka lalu beristirahat.

“San-te, gerakmu tadi kurang cepat, sehingga gerakan-gerakanmu tadi mudah dibaca. Cobalah untuk berlatih meningkatkan kecepatan seranganmu.”

“Baik Liong-heng, terima kasih atas petunjuknya”

“Jangan lupa jurus-jurus itu harus kau hafal luar kepala. Sehingga ketika bersilat, kau bisa langsung menggunakannya dengan bebas. Jika kau menghafal seluruh jurus-jurusnya, perubahan serangan macam apapun dari lawan kita, bisa dihadapi dengan mudah. Ilmu silat Butongpay memang hebat sekali. Jurus-jurus dasarnya saja sudah bisa menghadapi serangan-serangan dahsyat ilmu lawan”
 
“Benarkah Liong-heng?”

“Benar San-te. Makanya kau jangan malas berlatih. Jika kita semua rajin berlatih, aku yakin nama Butongpay akan semakin gagah di mata orang-orang Kang-ouw”

“Baik Liong-te” kata Cio San tersenyum.

Setelah beristirahat beberapa lama, Beng Liong pamit karena waktu istirahat sudah akan habis. Mereka berpisah, dan Beng Liong berjanji untuk sering mengunjungi Cio San. Begitu menuruni gunung, terlihat gerakan Beng Liong sangat lincah dan cepat sekali,

“Wah, Liong-heng ternyata semakin hebat saja, rupanya ia sudah mulai mempelajari ilmu meringankan tubuh Butongpay” kata Cio San dalam hati.

Hari berganti hari, Cio San terus berlatih silat Butongpay. Namun sambil berlatih silat,otaknya terus menerus mengingat-ingat tulisan yang ia pelajari dari dalam buku. Pada awalnya nafas terengah-engah dan ia cepat merasa capai. Tapi ia terus memaksakan diri. Sedikit demi sedikit rasa terengah-enagh itu hilang, bahkan terasa ada kekuatan baru yang muncul perlahan-lahan.

Cio San tidak pernah menyangka bahwa saat ia berlatih silat sambil mengingat-ingat tulisan di dalam buku itu, sebenarnya ia telah berhasil menggabungkan ilmu silat Butongpay dan pengetahuan tentang tubuh manusia.
Saat ilmu Butongpay mengajarkannya untuk menyalurkan energi ke kaki, ia mulai merasa terengah-engah. Tapi saat ia teringat bahwa jantungnya lemah, maka ia malah mengalirkan tenaga itu ke jantung, bukan ke kaki. Karena di dalam buku, untuk menguatkan jantung, ia harus menyalurkan energi “Im” ke dalamnya.

Ini adalah hal yang sangat berbahaya jika tidak dilakukan dengan hati-hati. Namun entah kenapa ilmu silat Butongpay itu sangat cocok dengan teori yang diciptakan sendiri oleh Cio San. Sebagian besar ini mungkin karena keberuntungan belaka, karena Cio San sama sekali paham tentang ilmu silat.

Tetapi sebagian besar juga dikarenakan daya pikir serta keberaniannya untuk mencoba hal yang baru. Secara tidak langsung, sebenarnya Cio San sedang menciptakan perubahan-perubahan di dalam ilmu Butongpay.

Ini terjadi dari hari ke hari setiap kali ia berlatih ilmu silat. Jika ia merasa terengah-engah atau capai, cepat-cepat ia merubah gerakan atau penyaluran energi ke tempat-tempat di mana ia pikir sesuai dengan kebutuhan tubuhnya. Dalam beberapa hari saja ilmu Cio San sudah maju sangat-sangat pesat.

Suatu hari ketika ia sedang makan siang, ia melihat ada bayangan lagi. Kali ini ia mengenalnya dari kejauhan. “Itu pasti Liang-Lohu. Ah akhirnya ia datang juga” Ujarnya sambil tersenyum.

“Hoy, Cio San” A Liang berteriak dari jauh. “Bagaimana kabarmu?. Hahahahahaha”

“Liang-Lopek apa kabar” Kata Cio San sambil memberi salam.

“Hey buat apa kau banyak aturan seperti ini? Pakai salam Butongpay segala. Aku kan bukan murid Butongpay”

“Haha, Liang-lopek memang bukan murid Butongpay. Tapi Liang-Lohu adalah 'tetua' Butongpay”

“Huah? Gila kau. Jika di dengar 4 tetua Butongpay, kau pasti dihajar mereka. Hahaha”

Senang rasanya di saat sepi ada sahabat yang datang menemani. Karena kedua orang ini memang sudah seperi sahabat. Padahal umur mereka berdua sudah seperti kakek dan cucu.

Rupanya A Liang membawa juga makanan dari dapur sehingga mereka berdua duduk menikmati makanan sambil bercerita. Lama sekali mereka bercerita. Cio San menceritakan kegiatannya sehari-hari diatas gunung selama  hampir sebulan ini. Sedangkan A Liang menceritakan keadaan perguruan.

“Eh ngomong-ngomong, sudah kau baca belum buku yang kuberikan?” tanya A Liang

“Sudah Liang-lohu. Sudah saya tamatkan”

“Heh? Sudah tamat? Memangnya kau bisa membaca huruf-huruf aneh di buku itu?”

“Bisa Liang-lohu. Bukankah dulu saya sempat cerita kalo mendiang ayah pernah mengajarkan huruf-huruf kuno kepada saya”

“Masak sih? Aku lupa...ahhahahhahaha” lanjutnya, “Coba kau ceritakan apa saja isinya. Mungkin saja aku jadi lebih mahir memasak. Hahahahaha”
“Buku itu selain resep masakan, banyak sekali resep obat-obatan, dan juga pengetahuan tentang obat-obatan” Sambil berkata begitu Cio San bangkit dari duduknya dan pergi mengambil buku itu di dalam gubuknya.

“Coba kau ceritakan padaku tentang isinya” pinta A Liang

Cio San lalu menceritakan banyak sekali resep-resep masakan yang unik. Buku itu memang selain berisi tulisan aksara tiongguan juga memuat huruf-huruf asing. Sehingga memang A Liang tidak pernah menguasai isinya.

“Sebenarnya ini huruf apa sih? Apa memang huruf kuno tionggoan?”

“Sebenarnya ini huruf gabungan tionggoan dan huruf dari daerah barat. Jaman dulu dari sebuah negeri barat ada agama baru yang dibawa oleh seorang Nabi. Setelah nabi itu wafat, pengikutnya lalu menyebarkan agama itu ke seluruh dunia. Kehidupan pemeluk agama itu sangat maju. Mereka menciptakan ilmu-ilmu baru. Seperti ilmu berhitung, ilmu sastra, ilmu perbintangan, dan lain-lain. Mereka juga menciptakan ilmu silat yang sangat hebat. Mereka selain menyebarkan agama, juga menyebarkan ilmu-ilmu ciptaan mereka itu.” Jelas Cio San

“Ah kau seperti seorang guru saja. Haha. Tapi aku pernah mendengar cerita itu. Jadi menurutmu apakah huruf-huruf di buku ini adalah huruf-huruf dalam aksara mereka?”

“Bukan Lohu. Ini adalah huruf gabungan aksara tionggoan dan aksara kaum barat itu. Kaum barat itu adalah kaum yang hidup di gurun pasir, dan sangat menyukai sastra. Mereka juga adalah pengelana. Mereka berkelana menyebarkan agama baru itu sampai ke tionggoan. Mereka lalu tinggal menetap dan berbaur dengan penduduk asli kita. Bahkan mereka menganggap diri mereka sebagai orang tiongguan. Sehingga mereka pun menciptakan aksara tionggoan dengan aksara asli daerah asal mereka. Maka terciptalah aksara yang ada di buku ini”

“Dari mana kau tau?”

“Dari mendiang ayah. Beliau yang bercerita kepada saya” lanjutnya, “kata ayah, ilmu mereka tinggi sekali. Bahkan ketinggian ilmu mereka itu sulit diukur. Musuh-musuh mereka pun juga ikut mempelajari ilmu-ilmu mereka. Sehingga untuk menjaga kerahasian, merek menyimpan ilmu-ilmu mereka ke dalam puisi-puisi yang sukar dimengerti. Sehingga hanya orang-orang tertentu yang bisa mengerti.”

“Benarkah katamu itu” tanya A Liang

“Itu kata ayah.” jawab, “Dan sebenarnya kakek dan ayah sendiri adalah penganut agama dari barat itu” lanjut Cio San

“Benarkah? Jadi kamu bisa aksara barat itu juga?”

“Sedikit-sedikit saya paham. Cuma saya belum pernah melihat sedikitpun bacaan dengan aksara asli agama itu. Kalau ada, pasti menarik sekali.”

“Wah hebat sekali kau ini” A Liang berkata sambil tersenyum dan geleng-geleng kepala.

“Sudahlah aku turun dulu yah, kalau terlalu sore, nanti bisa kemalaman dan terlambat mengurus makan malam untuk perguruan kita. Kau jagalah dirimu baik-baik” kata A Liang

“Baik lopek , terima kasih sudah mau repot-repot mengunjungi saya di sini”

“Alah, aku malah merasa bersalah tidak mengunjungimu sejak dari awal kau dikirim ke sini.”

“Terima kasih banyak lohu, saya baik-baik saja disini, kalau nanti lohu ada waktu berkunjung, mudah-mudahan kita bisa main khim dan bernyanyi”

“hahaha, aku suka itu. Nah aku pulang dulu, kau baik-baik lah. Selamat tinggal” Ia menepuk pundak Cio San, lalu bergegas pergi.

“Selamat jalan, sampaikan salam buat para suhu, dan para suheng”